#NgomonginJBI 3: Hal-Hal yang Jarang Dibicarakan


Setelah mengetahui JBI lebih dalam, seri #NgomonginJBI yang ketiga ini menyinggung beberapa hal mengenai JBI yang jarang disinggung. Termasuk juga sudut pandang mengenai JBI yang rasanya selama ini hanya berdiri dari satu sudut. 

JBI dan Istirahat

Memang pada #NgomonginJBI2 sudah disinggung mengenai durasi yang disarankan untuk JBI ketika bertugas, yaitu tidak lebih dari 30 menit. Namun, yang ingin dibahas lebih lanjut di sini adalah mengapa taking breaks sangat penting ketika bertugas.

Kelelahan karena tidak mendapatkan istirahat yang seharusnya dapat memengaruhi kualitas saat menjalani tugas. Sebab, kemampuan untuk fokus sudah menurun mengakibatkan tidak dapat menginterpretasikan apa yang sedang terjadi. Seperti yang sudah disinggung pada #NgomonginJBI 2, JBI bekerja secara simultan, dalam artian JBI harus melakukan beberapa hal dalam satu waktu: 

"An interpreter must, while translating or interpreting what has been spoken, be able to listen to, store in his memory, and subsequently recall what is being spoken." (Brasel, 1976: 57 [1])

Artinya, JBI harus menginterpretasikan apa yang telah diucapkan, dan dalam waktu bersamaan harus mendengarkan dan menyimpannya dalam memori, kemudian harus bisa mengingat kembali apa yang baru saja diucapkan. Yang baru disebutkan adalah aspek kognitif saja, belum lagi JBI harus bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar secara sigap (Qin, dkk [2]). Tambahan lain, aspek fisik. JBI menggunakan tangan dan tubuhnya (dan juga suara) untuk menyampaikan interpretasinya. Aspek fisik juga dapat berpengaruh besar atas kelelahan yang dirasakan JBI.

Lalu, sebaiknya berapa lama durasi JBI bertugas tanpa istirahat?

Barbara (1976) melakukan eksperimen dengan hasil bahwa setelah 30 menit, para JBI akan melakukan kesalahan (eror). Istirahat yang diambil JBI paling sedikit adalah 10 menit (Siple, 1993 [3]). Dalam masa istirahat tersebut, JBI harus benar-benar istirahat (tidak lagi mengobrol dengan peserta/klien Tuli).

Dari situ dapat dikatakan, sangat maksimal durasi JBI bertugas adalah 30 menit tanpa istirahat. Namun, sangat disarankan untuk tidak memaksakan hingga batas maksimal. Setidaknya, JBI perlu istirahat pada setiap 15 atau 20 menit bertugas. 

Selanjutnya, agar JBI memiliki kesempatan untuk istirahat, sebaiknya JBI bekerja secara tim; satu tim setidaknya terdiri dari 2 JBI. Hal tersebut sangat disarankan jika durasi suatu acara lebih dari 1 jam. Apabila materi (content) acara berat dan kompleks, maka tidak menutup kemungkinan terdapat tiga JBI dalam satu tim.

JBI Dan Dampak Fisik serta Emosional

Belum begitu banyak pembicaraan mengenai dampak fisik yang dialami oleh JBI. Mungkin karena kebanyakan belum sadar bahwa profesi JBI memiliki risiko yang cukup tinggi.

Tangan merupakan bagian penting dan krusial bagi seorang JBI. Qin, dkk. bahkan mengatakan pekerjaan JBI sebanding (atau dapat dikatakan memiliki intensintas yang mirip) dengan pekerja pabrik (pekerja yang membutuhkan kecepatan, misalnya membungkus, dan las). Perbandingan tersebut dapat terjadi karena tangan JBI bergerak 95% ketika bertugas (Qin, dkk.). Apabila gerakan tersebut terus-terusan diproduksi dan berulang, maka dapat muncul cedera, yaitu repetitive strain injury (RSI). Pada awalnya yang dirasakan mungkin hanyalah nyeri, atau kaku pada satu bagian tertentu (misalnya jari tangan). Namun, cedera itu bisa saja menyebabkan cedera lainnya. 

Dalam Occupational Health and Safety for Sign Language Interpreters (OH for SLI) [4], beberapa penelitian memang mengatakan JBI cukup rentan terkena cedera muskuloskeletal, yang terjadi pada lengan, bahu, dan tangan. Muskuloskeletal sendiri adalah sistem yang berperan penting dalam produksi gerak tubuh. Sistem tersebut terdiri dari otot, sendi, saraf, tulang, dan jaringan ikat. Selain cedera muskuloskeletal, terdapat cedera tendinitis juga. Sebuah survei dalam tahun ajaran 1988--1989 dari National Technical Institute for Deaf (NTID), menyatakan bahwa 45% JBI tidak dapat bertugas lagi karena adanya cedera dan beban kerja yang cukup berat (dalam Qin, dkk., hlm. 275). 

Selain risiko fisik yang dapat menyebabkan tidak dapat bekerja lagi, efek kelelahan juga tidak dapat dimungkiri. Dean dan Pollard, Jr. [5] dari beberapa temuan, kelelahan berat (burnout) merupakan yang ditemukan cukup banyak pada jurbah secara umum. Kelelahan tersebut tidak hanya didapatkan karena tuntutan pekerjaan, tetapi juga dari situasi yang didapatkan ketika bekerja. Situasi tersebut misalnya ketika ada seseorang yang berkomentar kurang baik tentang individu Tuli. JBI yang mengenal baik individu tersebut tentu merasa seperti marah atau tidak terima. Namun, JBI tidak dapat melakukan sesuatu karena saat itu sedang menjalani tugas (lihat OHS for SLI, hlm. 12). Sebab, ketika JBI memiliki "reaksi emosional" (lihat Dean dan Pollard, Jr., hlm. 4) terhadap situasi tertentu akan dianggap tidak profesional.

JBI Dan Pembicara: Siapa Duluan?

Ketika sebuah diskusi berjalan cukup seru, tidak jarang para pembicara mengambil giliran secara bersamaan. Ketika ada 2 orang atau lebih berbicara secara bersamaan, itu hampir mustahil dapat diinterpretasikan secara utuh oleh JBI. 

Hal ini mungkin termasuk dalam situasi yang belum disadari orang kebanyakan; bahwa ketika ada jurbah atau JBI, akan lebih baik giliran bicara betul-betul diterapkan. Giliran bicara di sini maksudnya adalah dalam satu waktu hanya satu orang yang berbicara, dan ketika ada yang ingin berbicara perlu menunggu giliran. Atau, pembicara dapat meminta giliran secara eksplisit (misalnya, angkat tangan). 

Tentu saja, dalam diskusi hampir akan selalu orang yang berbicara bersamaan. Dalam situasi ini, JBI dituntut untuk tetap bisa menginterpretasikan semua perkataan pembicara. Beberapa yang bisa dilakukan, antara lain,

- mengabaikan perkataan dari Pembicara A, dan menginterpretasikan Pembicara B. Kemudian, ketika ada kesempatan, langsung interpretasikan yang dibicarakan oleh Pembicara A,

 - mengabaikan pembicaraan tumpang-tindih tersebut, dan ketika selesai menginterpretasikan salah satu perkataan pembicara, meminta pembicara lainnya untuk mengulang perkataannya (Roy [2000], dalam Jones dan Lee [2013], hlm. 64) [6].

Namun, terkadang antisipasi tersebut tidak dapat dilakukan, selain karena laju pembicaraan yang terus berjalan cepat, tetapi juga karena JBI merasa tidak "berhak" untuk speak up ketika bertugas. Hal tersebut berkembang karena ada anggapan JBI harus bersikap se-netral mungkin dan tidak mencampuri urusan klien dengan lawan tuturnya. Selain itu, terdapat "aturan" yang mengindikasikan larangan JBI untuk tidak ikut andil apapun dalam percakapan yang sedang dilakukan. Jones dan Lee (2013) mengatakan hal tersebut "problematic in many ways" (sangat tidak sesuai). Dalam artikelnya, Jones dan Lee menyarankan JBI untuk "bi-partial"; yaitu berusaha memahami yang ditunjukkan melalui timbal balik (misalnya menganggukan kepala, atau berucap "hu-uh") dan mampu mengartikulasikan sudut pandang kedua belah pihak secara imbang (lihat Jones dan Lee, hlm. 58). 

Kenyataan ini (adanya "batasan" apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh JBI, dan dengan tekanan beban kerja, serta sempitnya waktu untuk mengambil keputusan) dapat menjadi penyebab utama hadirnya stres dan kelelahan akut (burnout) pada JBI (Dean dan Pollard, Jr, hlm. 8).  

Dari sisi penyelenggara/pembicara, kesadaran atas kehadiran JBI sangat diperlukan. Apabila kamu akan menjadi pembicara, pertimbangkan untuk tidak berbicara terlalu cepat, tetapi juga tidak perlu berhenti pada setiap kata/kalimat. Selain itu, apabila format acara adalah diskusi (interaktif, 2 orang atau lebih) usahakan untuk menyisipkan jeda sebelum menanggapi lawan bicara. Jeda ini sangat membantu JBI, karena seperti yang sudah disinggung di atas, hampir mustahil menginterpretasikan pembicaraan yang tumpang-tindih. Akan lebih baik lagi jika kamu (sebagai pembicara) bertanya langsung kepada JBI, apakah laju bicara terlalu cepat atau suara sudah jelas, dan sebagainya. Ini sangat akomodatif bagi JBI sehingga bisa menjalankan tugas secara optimal (lihat Siple, 1993). 

JBI Dan Tuli

Bagian ini mungkin agak berbeda dengan tiga bagian sebelumnya. Di sini akan mengungkapkan murni opini dari sudut pandang saya sendiri. Sebagai relawan JBI yang cukup aktif 3 tahun belakangan, serta dengan latar linguistik yang dimiliki, rasanya perlu juga mengungkapkan opini yang belum sempat diungkapkan sebelumnya.

Kehadiran JBI belakangan tentu menjadi kemajuan berarti, karena dapat memberikan akses yang seharusnya kepada teman-teman yang membutuhkan. Namun, seperti ada persepsi yang berkembang terhadap kemajuan ini; bahwa JBI dibutuhkan oleh teman-teman Tuli, dan bukan sebaliknya.

Tentu saja JBI sangat berperan dalam membuka jembatan informasi dan komunikasi bagi teman-teman Tuli. Namun, persepsi 'JBI adalah akses untuk komunitas Tuli' rasanya terlalu berat sebelah; seolah-olah komunitas Tuli yang harus menyesuaikan komunitas Dengar, dan bukan sebaliknya. JBI hadir untuk memberikan akses yang sepenuhnya bagi individu yang membutuhkan, bukan hanya untuk komunitas Tuli saja.

Ini bukan soal siapa yang 'benar' atau 'salah', tetapi bagaimana sudut pandang tersebut sepertinya terlalu berat sebelah. Jurbah lisan hadir bukan hanya untuk memberikan akses pada satu pihak saja, tetapi kedua pihak. Tujuannya apa? Ya, agar komunikasi dapat berjalan lancar dan mendalam, tanpa adanya miskomunikasi. Misalnya, ada individu dari Korea yang mungkin saja dapat berbahasa Inggris dengan lancar, dan ia memiliki agenda untuk berdiskusi dengan individu dari Inggris. Namun, karena topik diskusi cukup berat, ia memilih untuk memakai jasa jurbah. Hal itu dilakukan bukan karena ia tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi agar komunikasi berjalan lancar, dan ketika komunikasi lancar, tentu saja diskusi akan berjalan nyaman serta hubungan antar-individu akan terjaga. 

Jadi, rasanya akan lebih bermartabat jika persepsi terhadap JBI bukan saja untuk komunitas Tuli, tetapi untuk menghadirkan komunikasi yang lancar dan dalam. Dengan demikian, hubungan antar-individu pun dapat terjaga dengan baik. 

Jadi...

Intinya, komunikasikan kebutuhan masing-masing, baik dari sisi pembicara, individu/komunitas Tuli, dan JBI itu sendiri. Beberapa hal yang dapat menjadi pegangan dasar adalah, JBI butuh istirahat dan oleh sebab itu perlu ada setidaknya 2 JBI dalam 1 acara. Penerangan dan posisi bagi JBI sangat penting untuk diperhitungkan. Klien Tuli harus bisa melihat JBI dengan baik dan juga sebaliknya. Sadari kehadiran JBI dalam acara tersebut, laju diskusi dan pembicara perlu diperhatikan agar JBI dapat mengikuti dengan optimal. Dan yang terakhir, JBI hadir untuk mengakomadasi komunikasi agar dapat berjalan lancar dan mendalam, tanpa adanya miskomunikasi.

Ini adalah tulisan terakhir dalam serial #NgomonginJBI. Sebetulnya, masih banyak informasi yang dapat dirangkum mengenai JBI. Tapi, setidaknya serial #NgomonginJBI dapat menjadi pemicu untuk mencari tahu lebih dalam tentang JBI dan komunitas Tuli sendiri. 

Sampai jumpa di serial berikutnya!

Comments

Popular Posts