Perempuan dan Kata: Ngomongin Kata Cantik di Klub Menulis 2x2 = 1

Tulisan ini respon (atau lanjutan?) dari diskusi Klub Menulis 2x2= 1 yang diadakan Rabu, 3 April 2019 lalu oleh Balebengong. Pada saat itu, topik "perempuan" yang menjadi bahan menulis dan diskusi. 

Dalam jalannya diskusi, penggunaan istilah terutama yang merujuk ke perempuan beberapa kali disinggung, misalnya cantik dan lemah lembut. Berhubung saat itu belum sempat mengemukakan pendapat secara penuh, saya pikir tulisan ini akan menjadi muntahan apa-apa yang ada di pikiran waktu itu.


"Hanya" Sekadar Kata

Kata menjadi salah satu bagian dalam bahasa yang bisa dikatakan merefleksikan berbagai pemikiran serta budaya yang terkandung di dalam bahasa itu sendiri.  


"... the best way to understand thought is 
to vigorously analyse language."


Lebih dari itu, mengutip Dixon (2005: 6), "Underlying both words and grammar there is semantics, the organisation of meaning." Yup, makna yang ada di dalam kata tersebutlah, yang menurut saya, menjadi bagian yang paling penting.


  

Kira-kira bagaimana satu kata bisa menghimpun makna yang ada di dalamya?

Terdapat beberapa pandangan untuk menjawab pertanyaan ini, antara lain yang dikemukakan oleh de Saussure (tentang signifier dan siginified) dan juga segitiga makna dari Ogden dan Richards. 




Dari segitiga tersebut, symbol merupakan kata ataupun kalimat yang mewakili (misalnya seperti bangku, baju, meja, dst), referent adalah bentuknya dalam kehidupan nyata, dan thoughts/reference itulah konsep yang mengikat elemen-elemen dalam segitiga ini. Perlu ditekankan, tidak ada hubungan langsung antara simbol dan objek di dunia nyatanya, melainkanthoughts/reference atau konsep yang menghubungkan keduanya (lihat Palmer, 1976).

Mudahnya: Konsep menjadi sentral atau bagian yang penting dalam pembentukan makna pada sebuah kata.


Words and things are related by 
the mediation of concepts of the mind.

Kubangan Makna dalam Kata

Kata hijau, selain memiliki makna yang berhubungan dengan dunia nyata (yaitu yang "bertugas" sebagai penanda warna), juga bisa bermakna "kehidupan" ataupun bisa juga menggambarkan "kesejukan".  Atau mungkin juga bisa dikaitkan ke ungkapan "meja hijau" yang artinya pengadilan. Extended meaning inilah yang perlu untuk dibahas.

Ketika mengatakan kata cantik, misalnya, sudah terdapat satu set konsep yang mengiringi kata tersebut. Katakanlah, kata cantik ini digunakan untuk menggambarkan perempuan dengan bentuk tubuh tertentu, dengan kriteria wajah tertentu, dengan model rambut tertentu, dan dengan warna kulit dan kemulusan kulit tertentu. Dari perangkat konsep tersebut, kemudian terbentuklah (mungkin secara tidak disadari) stigma terhadap objek yang digambarkan oleh kata ini. Dari sini, bisa dikatakan bahwa:

a. Kata cantik hanya bisa digunakan untuk menggambarkan perempuan/wanita 
b. Perempuan yang cantik adalah perempuan yang ... (isi dengan "standar kecantikan" saat ini) 

Nggak hanya itu, saat ini saya merasa kata cantik tidak lagi membawa nila-nilai yang pada awalnya ada ketika kata ini pertama digunakan. Saya memang nggak memiliki bukti yang benar-benar bisa membuktikan pernyataan ini, namun kurang-lebih hal tersebut didasari oleh tulisan saya tentang "Atlet Cantik". 

"Atlet Cantik", bagi saya, merupakan bukti bahwa perempuan sudah terlalu lekat dengan kata cantik. Bayangkan, kata ini muncul di acara olahraga sekalipun! Tidak hanya itu, saya menjadi agak pesimis dengan kata ini karena, ya itu tadi, hanya menggambarkan satu perangkat konsep yang akhirnya menimbulkan stigma-stigma terhadap komponen-komponen yang tidak perlu (Saya nggak tahu saya ngomong apa di kalimat ini, but you know what I mean, right?).

Sama halnya dengan kata lemah lembut. Kata ini hanya menjadi milik perempuan, dengan konsep yang menggambarkan kelembutan perempuan. Yang kemudian menimbulkan stigma bahwa perempuan hanya bisa melakukan aktivitas yang lembut-lembut dan perempuan perlu memiliki sifat lembut. Dan jika ada perempuan yang tidak memiliki nilai-nilai tersebut, maka keperempuanan-nya pun dipertanyakan.


Begini Katanya

Whorf dan Vygotsky memiliki pandangan bahwa "Language is a social and cultural phenomenon, and is a primary mediator between the individual and society" (dalam Kramsch, 2004: 242). Selain itu, Vygotsky juga mengatakan bahwa bahasa (sebagai aktivitas sosial) dapat memengaruhi cara kita berpikir (Lihat Kramsch, 2004).  

Terus?

Ya, itu artinya penggunaan kata bisa menjadi cerminan dari pikiran ini dan juga bisa memengaruhi apa-apa yang ada di dalam pikiran ini. Kata cantik yang hanya menjadi milik perempuan ini juga menggambarkan bagaimana keadaan masyarakat penggunanya. Bagaimana masyarakat di dalamnya memandang perempuan, bagaimana masyarakat memperlakukan perempuan.

Jadi ...

Glorifikasi (saat diskusi Klub Menulis 2x2 = 1 berjalan, Mbak Citra Sasmita menggunakan istilah ini) terhadap diri perempuan sering dilakukan, tetapi pada kenyataannya perempuan masih sering dikecilkan. 

Banyak orang bilang, perempuan itu (terlalu) sensitif, perempuan itu terlalu banyak memakai hati. Tapi, banyak juga yang bilang, "Perempuan kok begitu, tidak punya hati."

Jadi ...

(?)

Comments

Popular Posts