Melihat Judul Berita dari Sisi Linguistik (Setidaknya, Berusaha)

https://id.pinterest.com/pin/807411039415834337/

Dalam tulisan ini saya (mencoba) membahas tentang judul suatu artikel berita daring dengan menggunakan sudut pandang linguistik. Tulisan ini, sejatinya, merupakan respon terhadap rasa penasaran saya terhadap kemampuan diri sendiri (berkaitan dengan analisis linguistik).

Artikel berita yang judulnya saya gunakan untuk bahan tulisan ini membahas tentang pertemuan antara Kemenkes RI dan MUI mengenai sertifikasi halal imunisasi MR. Sebelum masuk ke dalam pembahasan, saya akan jelaskan tentang bidang linguistik yang saya gunakan sebagai dasar pembaasan dalam tulisan ini, secara singkat.

Sintaksis merupakan bidang linguistik yang membahas tentang struktur yang dimiliki dalam suatu kalimat ataupun frasa (Kentjono, 2009: 123). Kaidah-kaidah sintaktis ini kemudian dapat menentukan apakah suatu kalimat gramatikal atau tidak gramatikal. Ketika struktur kalimat tidak sesuai dengan kaidah sintaksis, maka bisa disebut sebagai tidak gramatikal. Sebaliknya, dapat disebut sebagai gramatikal ketika struktur dalam kalimat mengikuti kaidah sintaktis (Kentjono, 2009: 124).

Mengutip Dixon (2005: 6), "Underlying both words and grammar there is semantics, the organisation of meaning". Makna menjadi salah satu komponen penting dalam sebuah ujaran, yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk kalimat. Dengan begitu, dapat dikatakan keterkaitan antara sintaksis dan semantik cukup erat. 

(1) Saya pergi ke pasar untuk membeli ikan dan buah-buahan.

Kalimat (1) merupakan kalimat gramatikal karena mengikuti kaidah sintaktis bahasa Indonesia. Selain itu, kalimat (1) juga dapat berterima secara semantis. Perhatikan kalimat (2).
(2) Kucing pergi ke pasar untuk membeli sayur-sayuran.
Secara sintaktis, kalimat (2) merupakan kalimat gramatikal. Namun, secara semantis, kalimat (2) tidaklah berterima. Sebab, subjek kalimat (2) yang diisi oleh nomina kucing tidak mungkin melakukan aktivitas pergi ke pasar. Dari sini, dapat dikatakan bahwa verba (kata kerja) pergi hanya dapat digunakan oleh manusia dan tidak berterima apabila digunakan untuk hewan atau tumbuhan.
Judul berita, selanjutnya akan disebut sebagai kalimat, yang digunakan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut.

(a)   Kemenkes Tunda Imunisasi Rubella Bagi Umat Muslim hingga Dihalalkan

Kalimat (a) merupakan kalimat yang gramatikal dengan struktur sebagai berikut.
Kemenkes       Tunda             Imunisasi Rubella       Bagi Umat Muslim hingga Dihalalkan*
S                         P                        O                                     obl.

Selain kalimat tersebut gramatikal, kalimat (a) juga berterima secara semantis. Tidak berhenti di sini, suatu kalimat juga berkaitan dengan konteks yang mengikat kalimat tersebut. 

Kalimat (a) tidak akan bermakna bila tidak ada konteks yang mengikat. Konteks yang mengikat dalam kalimat (a) adalah pertemuan yang dilakukan antara Kemenkes dan MUI mengenai sertifikasi halal imunisasi MR. Kesatuan makna yang padu dan diikat oleh konteks bisa dibahas dalam bidang Wacana (klik dan lihat hlm. 92)

Sesuai dengan pernyataan Hoed (1976), wacana berita memiliki struktur sebagai berikut: Kesimpulan/Fakta, Penjelasan, dan Analisis (dalam Yuwono, 2009: 95). Bagian kesimpulan/fakta dapat dikatakan sebagai bagian yang paling penting (Ibid). Oleh sebab itu, saya menduga bahwa kalimat (a) lebih kuat merujuk pada bagian tersebut, yang menurut pengamatan saya berada pada paragraf pertama dan kedua, yaitu sebagai berikut. 

Ketua MUI Ma'ruf Amin menggelar pertemuan dengan Menkes Nila Moeloek untuk membahas polemik Vaksin Measles Rubella (MR) yang diproduksi Serum Institute of India (SII) di Kantor MUI, Jumat (3/8). Dalam pertemuan tersebut diputuskan pihak Menkes RI akan menunda pelaksanaan imunisasi MR bagi umat Muslim hingga ada sertifikat halal dari produk tersebut. "Menkes RI menunda pelaksanaan imunisasi MR bagi masyarakat Muslim sampai ada kejelasan hasil pemeriksaan dari produksen (SII) dan ditetapkan fatwa (halal) MUI," jelas Sekretaris Komisi Fatwa Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan tertulis, Jumat (3/8). sumber


Saya hadirkan kembali kalimat (a) yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.

(a) Kemenkes Tunda Imunisasi Rubella Bagi Umat Muslim hingga Dihalalkan

Bila mencermati konteks yang ada serta struktur kalimat (a), kembali perlu dicermati terdapat kata Menkes RI dan Kemenkes. Kedua kata tersebut berada dalam level yang sama, dalam artian dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat.

Dalam kutipan tersebut, digunakan kata Menkes RI. Namun, dalam kalimat (a) tidak digunakan kata Menkes RI, melainkan Kemenkes. Kedua kata tersebut memang berada pada kelas kata yang sama dan dapat saling menggantikan, terutama dilihat dari konteks yang digunakan. Misalnya, pada kalimat saya membeli pulpen di toko, kata pulpen dapat diganti dengan pensil atau penghapus karena masih berada dalam konteks yang sama. Walaupun demikian, Menkes RI dan Kemenkes memiliki rujukan yang berbeda. Menkes RI merujuk pada seorang individu, pribadi, yaitu Nina Moeloek yang berperan sebagai Menteri Kesehatan. Sementara itu, Kemenkes merujuk pada lembaga dan/atau institusi secara keseluruhan dan bukan merujuk pada individu. Namun, di sini bisa dikatakan Menkes juga mewakili Kemenkes karena notabene, Menteri-lah yang mengambil keputusan atas putusan yang ada di Kementerian. 

Oleh sebab kalimat serta konteks yang menjadi pembahasan di atas adalah sebuah berita, maka terdapat beberapa artikel berita lainnya yang memberitakan hal ini. Hal tersebut berarti konteks yang sudah ada menjadi semakin utuh dan lengkap. Terdapat rangkaian berita yang diterbitkan keesokan harinya. Perhatian saya tetap berada pada bagian kesimpulan/fakta dalam struktur wacana berita, yaitu sebagai berikut. 

Meskipun MUI belum bisa mengeluarkan kepastian soal kehalalan vaksin campak (Measles) dan Rubella, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menilai masyarakat tak perlu ragu untuk melakukan imunisasi. Nila beralasaan (sic!) ada fatwa MUI yang memperbolehkan vaksin itu, bila tidak ada alternatif lain untuk mencegah penyakit.

"Walaupun nanti bersinggungan, MUI menyadari ini untuk kepentingan kesehatan. Oleh karena itu memang tetap bisa. Karena menurut fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 itu dikatakan, jika ini memang dalam arti mubah, artinya tidak ada alternatif lain ini diperbolehkan dan ini darurat," ujar Nila di kantor Menteri Koordinator PMK, Jakarta Pusat, Minggu (5/8). sumber


Dalam kutipan tersebut, terdapat kalimat yang menjadi perhatian saya, yaitu sebagai berikut.

(b) Menteri Kesehatan Nila Moeloek menilai masyarakat tak perlu ragu untuk melakukan imunisasi.

Kata Menteri Kesehatan merupakan kepanjangan dari kata Menkes atau Menkes RI yang digunakan pada konteks sebelumnya. Selain itu, kalimat (b) memungkinkan interpretasi sebagai berikut.

(b1) 'Menkes menganjurkan masyarakat tidak menunda imunisasi,’ atau
(b2) ‘Menkes menganjurkan untuk melakukan imunisasi secepatnya.'

Pada (b1), kata masyarakat perlu diperhatikan pemaknaannya. Tentu masyarakat dalam (b1) memiliki makna denotatif, yaitu 'sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama' (KBBI Daring). Tapi, melihat konteks yang ada, masyarkat di sini berasosiasi dengan ‘masyarakat umat muslim dan masyarakat non-muslim’.

Saya mencoba untuk mengilustrasikan dengan singkat pembahasan yang sudah dilakukan di atas.


Konteks:
Kemenkes & MUI melakukan pertemuan untuk membicarakan tentang imunisasi MR. Hasil dari pertemuan tersebut adalah, Kemenkes (atau Menkes RI) menunda pelaksanaan imunisasi MR bagi umat muslim karena belum memiliki sertifikat halal.


Kalimat a:
Kemenkes tunda pelaksanaan imunisasi MR bagi umat muslim.


Kalimat b (Konteks tambahan):
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menilai masyarakat tak perlu ragu untuk melakukan imunisasi.


Mengutip Yuwono, “wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu” (2009: 92). Bisa dikatakan, artikel berita daring, yang biasanya hadir dalam beberapa artikel, merupakan satu kesatuan yang utuh, terikat dalam satu konteks. Selain itu, bangun bahasa tersebut juga perlu berpadu dengan baik agar dapat menyampaikan maksud secara tepat kepada pembaca.

Tapi, ketika wacana dilemparkan ke publik (karena ini berita daring), terdapat satu aspek yang juga berperan penting, yaitu interpretasi

Pada konteks wacana ini, dikatakan bahwa Menkes memang "...menunda pelaksanaan imunisasi MR bagi umat Muslim hingga ada sertifikat halal...". Lalu, apakah ini artinya memang betul produk tersebut tidak halal? Menurut saya, inilah yang menyebabkan adanya keraguan masyarakat. Kemudian, ditambah pula kalimat pada berita kedua, "Meskipun MUI belum bisa mengeluarkan kepastian soal kehalalan vaksin campak..." semakin meningkatkan keraguan. Namun, kembali lagi, apakah "menunda pelaksanaan hingga ada sertifikat halal" berarti produk tersebut tidak halal? 
Dari berbagai interpretasi itu pula, dapat dikatakan kesatuan yang dibangun dalam artikel tersebut dapat menimbulkan beberapa anggapan berbeda. Beberapa dugaan saya terhadap anggapan yang dapat muncul antara lain sebagai berikut.

1) Bagi umat muslim, imunisasi MR belum boleh dilakukan, tetapi bagi non-muslim sudah boleh melakukan imunisasi MR
2) Bagi umat muslim ataupun non-muslim diharapkan untuk segera melakukan imunisasi MR secepatnya, tanpa perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.

//
Apabila cara penyampaian dan penggunaan bahasa tidak dihiraukan, maka bisa saja mengembangkan anggapan atau tafsir yang tidak diinginkan, maka maksud yang dituju tidak akan sampai. Akibatnya, akan terjadi miskomunikasi dan bisa mempengaruhi hal-hal lainnya. 

Tulisan ini hanya memperlihatkan bagaimana sebuah penggunaan bahasa, dalam hal ini penggunaan bahasa dalam berita tulis (daring), dapat berdapampak jauh pada hal-hal di luar berita itu sendiri. Sekaligus memperlihatkan peran bahasa yang begitu penting dalam kehidupan manusia karena dapat berpengaruh dalam setiap tindakan yang dilakukan.


*S: subjek
P: predikat
O: objek
obl.: oblik  

Comments

Popular Posts