Esai Penutup Tahun: Lawan!

Tahun sebentar lagi berganti. Tetapi, pembantaian, penindasan, perampasan terhadap komunitas tertentu masih saja berlangsung. Pembantaian di Palestina mebangunkan ingatan mengenai beberapa peristiwa serupa yang terjadi di Indonesia. Tulisan ini khususnya ingin mengangkat fokus terhadap karya sastra yang lahir dari peristiwa tersebut. 

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
(dikutip dari buku Wiji Thukul: Teka-Teki Orang Hilang - seri Buku TEMPO, 2013, hlm. 98)

Penggalan puisi tersebut diambil dari “Peringatan” (1986) oleh penyair/aktivis Wiji Thukul. Ia hilang sejak 1998, karena aktivitasnya yang dianggap “meresahkan” pada zaman Orde Baru—Ia belum juga ditemukan hingga sekarang. Puisi tersebut dibacakan pada 1996 di Jakarta dan menjadi pembacaan di depan publik terakhirnya, sebelum menjadi buron seminggu kemudian (ibid, hlm. 117). Puisi “Peringatan” menjadi simbol perlawanan, perjuangan, pemberontakan. 

Puisi, bisa dikatakan, adalah senjata yang ampuh dan tajam untuk mengusik penindas, karena bentuknya yang ringkas sehingga dapat dengan mudah disebar, dan juga mudah diingat sehingga dapat digunakan sebagai slogan (atau semacamnya). Puisi juga memiliki bentuk yang “telanjang”; tidak ada tempat untuk bersembunyi, kata-kata yang digunakan lugas menusuk tepat ke sasaran. 

iwan o iwanku 
alangkah manis warna matahari 
yang mengintip dari terali jendelaku 

wahai, kalaulah langit-langit tidak serendah ini
dan dinding-dinding
tidak membingkaikan kelam warna dan pengap udara
(dikutip dari buku Lekra: Dan Geger 1965 - seri Buku TEMPO, 2014, hlm. 113)

Penggalan puisi di atas ditulis oleh Sutikno W. S., berjudul “Sonata untuk Iwan-Ku” (1970). Puisi ini menggambarkan masa tahanan Sutikno di Salemba karena dicap PKI (karena tergabung dalam Lekra, yang dianggap onderbouw PKI)—ini berhubungan dengan peristiwa pembantaian pada 30 September, 1965

Tidak hanya puisi, cerita pendek juga menjadi sarana pengungkap kebenaran. Kumpulan cerpen Saksi Mata oleh Seno Gumira Adjidarma adalah salah satu karya penting yang membahas tentang pembantaian massal di Dili. Perisitiwa ini sering disebut sebagai peristiwa Santa Cruz, 1991. “Ketika fakta dibungkam, sastra berbicara,” begitulah Seno berpetuah. 


Ketiga pembantaian di atas terjadi ketika kesadaran terhadap keihdupan diri ini belum terbentuk sepenuhnya. Selain itu, dengan privilege yang dimiliki, kehidupan diri ini dapat terus berlangsung tanpa ada embel-embel yang berarti, tanpa ada dampak langsung.

Saat ini, ketika pembantaian massal di Palestina sedang berlangsung, diri ini lagi-lagi berada pada posisi yang beruntung, privileged, tidak ada dampak langsung yang terasa. Tapi, dengan kesadaran dan kepedulian yang sudah terjalin dalam diri, setidaknya terdapat usaha yang dilakukan untuk terus menghidupkan pembicaraan ini, agar peristiwa ini tidak terlupakan.

Terus suarakan dan tuntut keadilan terhadap pembantaian yang belum juga ada penyelesaiannya hingga sekarang. Terus teriakan agar tidak terlupakan, termasuk yang terjadi di komunitas lainnya, di manapun keberadaannya.





Mengingat peristiwa Trisakti 1998, baca: 

Mengingat peristiwa Santa Cruz, 1991, baca: 

Mengingat peristiwa G30s PKI, 1965, baca: 


Catatan:
Tulisan ini hanya mengangkat sedikit contoh karya-karya sastra yang lahir akibat, dan mengenai peristiwa-peristiwa pembantaian dan penindasan —atau sebut saja pelanggaran HAM berat—. Sebetulnya, masih banyak karya sastra, dan peristiwa serupa yang jarang mendapat perhatian, misalnya “konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB di Papua”, dan “brutalitas aparat keamanan” yang berakibat pada tragedi Kanjuruhan (2022)

Catatan tambahan:
Sebentar lagi waktu penting bagi Indonesia akan terjadi nanti di Februari 2024. Cek dan pelajari dengan cermat segala latar belakangnya, termasuk kasus-kasus yang udah disinggung di atas, di dalam tulisan ini. Beberapa sumber tambahan:

Comments

Popular Posts