Edisi Spesial: Merayakan 30



Hari ini angka yang menunjukkan umur sudah berganti diawali dengan angka ‘3’. Katanya, hal ini adalah batu loncatan besar, dengan harapan dan ekspektasi yang berhamburan.

Nyatanya, tidak ada yang berbeda dari hari-hari lainnya. Tidak ada yang mencengangkan, tidak ada yang berlagak sebagai batu loncatan. 

Dalam rangka merayakan hidup yang masih berlanjut, ada tiga tulisan baru yang temanya berkisar tentang kehidupan terkini. Sebuah, katakan saja, respons terhadap gelombang-gelombang perasaan dalam menjalani kehidupan. Ditulis dengan hati yang ringan, dan sudut pandang yang segar. 

Selamat menikmati~


Rontok Daun dan Perayaan Kehidupan

Daun rontok menimba kasih masa lalu
seperti hidup yang kian menua;
meluruhkan yang lama
menyambut yang ada
merayakan kehidupan

Serakan daun berbaur wangi hujan terekam
menjelma malam 
merasuk kenangan

Rasa diramu, dirajut, dirayu, dipeluk, dijamu, dibunuh  
Menyatu dengan tananh dan daun-daun, yang gugur
terhanyut angin msuim semi tahun lalu



Juntai Perak pada Kepala


Embun pada pagi hari, jendela yang basah dan dingin, rambut yang kusut bekas mimpi. Bercak air liur meliuk dan menjalar pada dagu dan pipi. Lantas, mata terbuka dengan terpaksa karena berkas cahaya dari lampu kamar mandi yang baru saja dinyalakan.

Sikat gigi tidak lagi enggan bercengkrama. Sabun cuci muka tidak lagi berpura-pura. Sisir tergeletak, minta dibersihkan, karena merana, sesak, tertimbun rambut-rambut masa lalu. Ah, juntai perak pada kepala memantul silau pada kaca. Itu dia! Itulah yang bersembunyi sejak dini.

Sesungguhnya, tidak ada yang bersembunyi, tidak ada yang disembunyikan. Hanya prasangka perasaan merajalela mendera gugusan hati yang rapuh. Tersandung oleh jejalan kata-kata dari mulut yang tidak bertuan; meludah seenaknya di trotoar jalan Mangga dan tidak ada yang berhenti untuk sekadar bertukar sapa, “Apakah kamu baik-baik saja?” Semua sibuk menuju tangga nihil di antah-berantah, dekat istana dewata, puja-puji alam semesta. Tapi, tidak apa. Semua dijamin surga. Asalkan taat memuja; yang kuasa dan Maha Kuasa. 

Juntai perak ini sering dianggap sebagai jam pasir penanda waktu yang kian menipis. Seperti tidak peduli, ia mantap menetap, mengukuhkan kehadirannya. Satu-dua helai rambut rontok, menandakan hidup baru akan tumbuh, serta yang lama luruh. Jelmaan hidup menunggu pada dini hari, selagi makhluk-makhluk niskala berkisar di pusara. 

Biarkan juntai perak itu hanyut bersama embusan angin. 


Celana Menghilang

Kancing celana agak susah dikaitkan karena terhalang perut yang begitu maju. Tapi dengan menahan napas sebentar, kancing bisa masuk ke lubang dengan semestinya. Akibatnya, perut menjadi agak berlipat, merespons keberadaan garis celana yang mengikat pada pinggang.

Pagi itu, seperti biasa angin berhembus cukup pekat. Mungkin angin ini tidak pekat sama sekali bagi mereka yang memang lahir di sini. Cuaca seperti ini menjadi yang diidamkan karena matahari dapat dinikmati, bahkan hingga jam 10 malam nanti.

Klentongan piring dan sendok beradu. Asap mengepul dari nasi yang baru matang. Pinggiran hitam pada telur ceplok menyertai hingga ke nasi. Saus sambal merah mengisi pinggiran piring. Duduk di sofa murahan yang hanya empuk di beberapa bagian saja, sarapan pun disantap.

Perut mendesak hingga kancing terasa mau lepas. Lalu, secara otomatis, napas ikut ditahan hingga perut mengempis. Napas dihela, mungkin terlalu kencang. Akhirnya, kancing harus mengalah, dilepas dari kaitan yang mengikatnya ke pinggang. Napas dihela, kali ini seperti lega. 

Mengunyah-mengunyah nasi dan telur ceplok hingga lumat. Tidak ada satu hari pun yang dilewati tanpa melihat foto berderet pada layar. Kini, kehidupan sering disimpulkan hanya melalui deretan fantasi yang dapat diegeser, diumpat, dipuja. Minim kata, banyak membuai. 

Ketika hendak berdiri untuk meletakkan piring yang baru saja disantap, celana yang dikenakan tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa jejak. Ke mana ia pergi? 


Comments

Popular Posts