Teater Kahyangan: "Tak Perlu Risau Bila Kalah di Medan Perang. Risaulah Ketika Kemenangan Itu Tiba"

Setelah kurang-lebih satu bulan berada di bawah awan abu-abu, akhirnya, Sabtu minggu lalu kembali masuk ke ruang pentas kolaboratif. Kali ini, Canasta Creative Space didatangi oleh Teater Kahyangan. Teater -- yang katanya biasa latihan di atas 3000mdpl dengan suhu rata-rata 10 derajat celsius -- dari Wonosobo ini membawakan lakon dengan judul “Laki-Laki Kami: De’ Catastrophe”.

Ketika datang pada malam itu, tidak ada bayangan atau ekspektasi apapun terhadap pementasan itu. Entah mungkin karena baru saja keluar dari bayang abu-abu (sehingga melangkah ke luar darinya perlu pembelajaran dari awal lagi) ataukah memang diri ini saja yang kekurangan asupan tentang dunia kreatif.

Rasa tradisional langsung merasuk ketika lakon dibuka dengan tembang Jawa. Tembang apa, saya pun tidak mengerti. Yang jelas, saya yakin bahwa nyanyian jenis itu disebut dengan tembang. Selain tembang, pementasan pun juga diiringi dengan suara motor dan gonggongan anjing nun jauh di sana. Hampir lupa bahwa inilah rasa menonton di ruang terbuka dipayungi dengan awan malam.



Pada awalnya, saya tidak bisa memutuskan apakah akan menonton dan menikmati saja tanpa memerhatikan hal-hal detail, ataukah saya perlu menjadi pemerhati detail-detail dalam pementasan supaya, setidaknya, bisa menulis tentang pementasan ini di kemudian hari. Nyatanya, tidak keduanya. Selama pementasan berlangsung, beberapa situasi membuat perhatian saya teralihkan dari pementasan. Mulai dari kehadiran bayi yang terlalu lucu, arus penonton yang baru saja datang menamu, hingga suara motor yang agak rusuh.  

Sudah saya bilang sebelumnya, pementasan ini dibuka dengan tembang. Jika sudah membicarakan tembang tentu kebudayaan Jawa ada di dalamnya. Saya bukan penyanyi maupun penembang, tetapi saya cukup menyayangkan si pemain masih menggunakan suara tenggorokan (semoga paham maksud saya ini). Bagi saya, tembang pembuka ini merupakan kunci pembentuk suasana pementasan secara keseluruhan. Kunci ini rupanya belum jadi seutuhnya. 

Selain tembang pembuka pentas, salah satu situasi yang cukup menarik perhatian saya adalah ketika pemain yang memerankan Si Burung Hantu berusaha menyeimbangkan permainannya dengan para pemain lain. Situasi itu mengingatkan saya bahwa suatu lakon bukan tentang siapa yang menjadi aktor terbaik, tetapi bagaimana menampilkan yang terbaik bersama-sama.

Bagi sebagian yang hadir pada malam itu, pementasan Teater Kahyangan ini memantik kerinduan pada rasa, identitas, serta ruang tradisi yang saat ini mulai terkubur dalam bisingnya kehidupan modern. Tradisi, yang pada dasarnya adalah fondasi dari kehidupan kita, saat ini terasa bergeser atau lebih tepatnya digeser dengan hal-hal lain.

Bagi saya, pementasan hari itu memiliki makna lain. Pementasan itu membuat saya mengerti dan kembali percaya: ada proses yang perlu dijalani dalam sebuah perjalanan. Terkadang, proses itu perlu dihargai dan bahkan sengaja dipamerkan karena bisa menandai sudah sejauh mana langkah yang diambil. Dan satu lagi:

Bukan hasil yang menjadi perkara

Comments

Popular Posts