Menulis Apa Saja: Setiap Cerita Memiliki Maknanya Masing-Masing

Minggu lalu, saya berkesempatan untuk datang ke Workshop “Menulis Apa Saja” yang merupakan rangkaian acara Tatkala May May May, di Rumah Belajar Komunitas Mahima. Dari perjalanan dan persinggahan singkat itu, terdapat beberapa pikiran yang menghampiri. Salah satunya mengenai perjalanan kepenulisan saya selama ini.

\\

Menulis merupakan salah satu cara saya mengekspresikan berbagai perasaan yang menghampiri. Sebab, tidak semua hal dapat saya ceritakan dengan gamblang kepada orang lain. Selain itu, saya juga lebih senang menceritakan kisah saya melalui rangkaian cerita dengan bentuk lain sehingga orang lain tidak dapat menangkap langsung kisah mana yang saya maksud.

Puisi dan prosa menjadi dua cara penulisan yang saya anut karena dengan dua tulisan itu saya bisa mengekspresikan apapun yang ada dalam perasaan dan pikiran. Hingga sekarang pun, saya tetap bisa mengingat peristiwa apa yang terjadi dalam setiap puisi dan prosa yang saya tulis. Bahkan, saya tetap bisa merasakan rasa yang waktu itu terasa ketika membaca kembali puisi dan prosa yang saya tulis. Namun, belakangan ini, puisi dan prosa menjadi pilihan kedua. Belakangan ini, artikel/esai menjadi cara penulisan yang sedang sering saya jalani.


Mungkin, kira-kira tahun 2016 merupakan kali pertama saya mengeluarkan jenis tulisan esai di blog. Waktu itu membicarakan imbuhan -nya yang merupakan fenomena bahasa karena cukup sering digunakan di berbagai situasi. Setelahnya, artikel berbahasa Inggris pertama saya pun keluar. Waktu itu, membicarakan tentang penggunaan bahasa Inggris yang saat ini banyak digunakan oleh orang Indonesia.

Pada awalnya, tidak ada “standar” yang saya terapkan dalam penulisan esai/artikel. Sebab, saya pun tidak menerapkan “standar” pada penulisan puisi/prosa. Yang menjadi poin utama ketika baru saja memulai penulisan esai/artikel adalah mengeluarkan uneg-uneg yang ada dalam pikiran. Namun, ternyata lama-kelamaan poin utama itu menjadi kabur karena adanya “standar” yang terbentuk tanpa disadari.

Saya menginginkan tulisan-tulisan saya memiliki keseimbangan antara mudah dimengerti pembaca dan juga sekaligus tetap menggunakan cara analisis serta sumber-sumber yang valid. Mengapa penting bagi saya untuk bisa menghasilkan tulisan yang mudah dimengerti oleh pembaca? Sebab, bidang yang diambil tidak cukup akrab/populer di mata umum: linguistik.

Selain itu, saya juga tetap ingin menggunakan cara analisis dan sumber yang valid sebab ada cita-cita jauh di benak saya, tulisan ini akan masuk dalam kategori “ilmiah populer”. Terlebih lagi, ada satu impian besar lainnya yang juga ingin diwujudkan: mengakrabkan linguistik ke telinga orang-orang. Mungkin ini bisa menjadi bahasan lain di tulisan selanjutnya, ya.

Nah, dengan keinginan-keinginan itu, maka secara tidak langsung dan tidak disadari terdapat “ketentuan” yang perlu dipenuhi. Antara lain, saya setidaknya perlu mencari artikel/jurnal yang juga membahas sesuatu yang akan ditulis. Atau jika perlu, mencari buku teori untuk menguatkan apa-apa yang saya masukkan dalam tulisan itu. Saking tenggelamnya dalam standar dan ketentuan yang ada, saya tidak lagi menghiraukan pendapat atau suara saya sendiri.


Ya, karena adanya jurnal/artikel atau kutipan yang diambil dari sumber terpercaya dalam tulisan saya, maka saya menjadi menganggap suara saya sendiri tidak kredibel. Padahal, pandangan penulis (atau dalam tulisan ini juga saya sebut sebagai “suara”) tentu menjadi sesuatu yang perlu hadir dalam setiap tulisan. Sebab, itulah yang membedakan tulisan yang satu dengan tulisan yang lainnya. Lama-kelamaan saya merasa takut untuk memasukkan pandangan saya sendiri dan akhirnya sering kali agak menahan laju kata-kata yang ingin keluar.

Bahkan, sepertinya situasi ini pula yang membuat beberapa tulisan saya tertahan. Kala itu, sering tersendat karena saya ingin memasukkan suara dalam tulisan, tetapi tidak bisa menemukan artikel/teori/kutipan yang mendukung. Jika sudah seperti itu, bisa ada beberapa kemungkinan: tulisan itu akan mandek dan tidak jadi diunggah, atau tulisan itu akan mandek tetapi akhirnya tidak jadi memasukkan suara yang tadinya ingin dimasukkan. Bisa juga, ujung-ujungnya saya merasa lelah dan bosan karena ngotot ingin mendapatkan validasi dari kutipan di luar sehingga proses penulisan menjadi kurang menyenangkan.

Sekarang, saya sudah menyadari bahwa seharusnya tidak perlu terlalu sering bersuara melalui fakta-fakta atau kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai sumber. Bersuaralah dengan menggunakan suara sendiri.

\\

Selain tentang suara yang sempat hilang, ada satu perlakuan yang belakangan sempat terlupakan.


Ketika mendengar, “Workshop Menulis Apa Saja”, yang terlintas dalam pikiran saya adalah menulis dengan sesuka hati, seenak diri, dan tidak memikirkan aspek-aspek penulisan yang harus dianut. Namun, nyatanya, bukan seperti itu yang dimaksud. Yang dimaksud adalah untuk menulis setiap hal yang mampir di kepala, bahkan hal “kecil” sekalipun. Misalnya, ketika ada peristiwa kecelakaan, kisah tentang orang lalu lalang yang sibuk mengangkat telepon genggam untuk mengabadikan momen-momen tersebut itu juga patut diangkat. Atau, ketika pementasan teater berlangsung, kisah tentang para penonton yang sibuk berbincang dan keluar-masuk arena pertunjukan juga patut diceritakan. Kisah-kisah yang terjadi di sekitar peristiwa utama pun tetap perlu diceritakan. Justru dari kisah-kisah itulah peristiwa utama terbentuk.

Sebenarnya, konsep tersebut (menulis setiap kisah bahkan kisah yang “kecil” sekalipun) telah saya amini sejak lama. Itulah salah satu cara saya untuk mengakrabkan linguistik ke telinga orang-orang: Bahwa ketika membicarakan linguistik, tidak melulu harus membahas peristiwa dan fenomena besar-besar dengan cara analisis yang berat-berat. Itulah juga sebenarnya dasar saya memiliki blog pribadi ini: Bahwa saya bisa menceritakan apa saja yang saya rasakan, tidak peduli sesederhana atau serumit apa itu. Namun, ternyata belakangan ini saya memandang terlalu jauh sehingga konsep ini terabaikan.

\\

Terlalu tenggelam dalam keinginan untuk mencapai standar dan ketentuan tertentu sehingga suara-suara yang hadir di dalam diri tidak lagi diacuhkan. Ditambah lagi, memandang kejauhan sehingga yang ada di sekitar malah tidak diacuhkan.

Mari, mari, mari, menulis dan menyisir kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar tanpa perlu terlalu sinis terhadap suara-suara yang ada di dalam diri.

Comments

Popular Posts