(Sinar) Matahari




Matahari.

Selalu hadir, tapi hampir selalu dihindari. Persoalan keluar rumah bukan lagi persoalan sederhana, melainkan pertempuran yang perlu diadang: berisap menerjang badai matahari yang tidak saja memanggang aspal jalanan, tetapi juga kulit-kulit bagian tubuh yang terpapar. Akibatnya, kostum yang dikenakan dalam pertempuran ini juga perlu diperhitungkan: sarung tangan, kaus kaki walaupun mengenakan sandal, masker yang menutupi setengah wajah, juga kacamata hitam.

Begitulah. Matahari perlu dihindari sebab sinarnya nyelekit perih jika terkena langsung ke kulit. Komentar, "Awas, nanti hitam!" bukan jarang ditemukan, juga bukan menjadi sesuatu yang ganjil diutarakan. Tapi, sepertinya komentar itu sudah mulai berkurang digantikan dengan kekhawatiran mengenai skin barrier yang menipis; memang, belakangan pembicaraan tentang pemakaian sunscreen baru saja naik daun. 


Tapi, kini situasi berbalik. Matahari sering dicari, sering ditunggu. 

Matahari kini dipuja-puja ketika sinarnya tampak, walaupun hanya dua jam sehari. Orang berlomba-lomba menyambutnya dengan keluar rumah dan memaparkan diri pada teriknya matahari, seolah-oleh sengaja menguguhnya kulit yang renta untuk dimangsanya.

Cukup asing rasanya menanti-nanti sesuatu yang sebelumnya selalu dihindari. Hampir malu juga ketika kaki ini ikut melangkah keluar rumah untuk mengejar matahari dan menikmati hangat teriknya pada tangan serta wajah yang dengan sengaja disuguhkan ke arah sinarnya matahari. 

Ternyata, begini kenyataannya ketika sesuatu yang dalam keseharian berlimpah dan mudah digapai tiba-tiba mengerucut dan sulit dicari.

(Sinar) Matahari. 


Comments

Popular Posts