Angan Kabur Ditusuk Teman Sendiri (dan Sebuah Catatan Kecil)

Betapa rindang pohon di jalan
tak perlu jeri, dirasakan
angin sepoi di lamunan
mengaburkan angan-angan

Matahari jarang tampak
membuat langkah terserak
di antara daun yang bergerak,
ada lamunan yang tersentak

"Untung," kata mereka,
telah menginjak tanah Eropa
merasakan dingin salju, meraba
jaket murahan seadanya

Pentingkah keagungan diri
jika ketulusan tidak bermakna lagi
tertimbun dalam kepalsuan hati
senantiasa mempertanyakan arti

Untuk apa berbesar hati
ketika kata tidak bisa diberi
kepada mereka yang diadili
karena beradu di jalan sendiri

Tapi, apalah diri ini
masih untung bisa berdiri
tanpa perlu merasa tersakiti
oleh tusukan teman sendiri



Catatan:

Tulisan ini terinspirasi setelah membaca "Meneer Perlente", oleh Louw Tjoei Tjng yang terbit tahun 1927, dan juga  "Nasib Bangsakoe Perempoean di Atjeh" oleh Chairoemi binti N. Hoesain (dalam buku Meneer Perlentee: Antologi Puisi Periode Awal, ed. Sapardi Djoko Damono dan Melani Budianta). Syair ini biasanya masuk dalam kategori Sastra Melayu Tionghoa. Tapi, Dede Oetomo dalam jurnalnya menggunakan istilah Pre-Indonesian Malay, atau Melayu Pra-Indonesia. Syair biasanya mengikuti aturan yang ketat, biasanya berkenaan dengan rima dan baris. Misalnya, setiap bait harus berisi empat baris, dengan rima a-a-a-a. 'Aturan' ini mengangkat kembali pentingnya bunyi pada kata yang digunakan dalam penulisan. Ini seperti pengingat, bahwa teks sastra telah melewati perjalanannya sendiri, merekam berbagai peristiwa yang mungkin tidak tergambarkan dalam bentuk lainnya. Jadi, yang penting: menulis saja. 

Comments

Popular Posts