Lara - 3

 



Sebelumnya, di Lara - 2: Kotak itu tidak berat, justru ringan. Entah kenapa ketika mengangkatnya begitu berat. Terlebih lagi ketika melihat isi yang ada di dalamnya. Semakin berat tubuh ini untuk bergerak. Entah apa yang menggantungi tubuh ini.


Angin berhembus terlalu biasa. Tidak kering, tidak basah, tidak juga terlalu terik. Hanya aku tetap bisa merasakan bau tanah basah dalam hembusan angin itu. 

Aku melirik ke arah Lara, ia hanya menunduk memandangi tanah basah itu; tempat ibunya beristirahat. Raut mukanya tidak menyiratkan apa-apa, tapi aku tahu hatinya tergurat dalam. Tenda ini dipenuhi manusia: teman-temanku, teman-teman Lara dan kakaknya, dan tentu saja sanak saudara. Tapi, aku bisa merasakan hawa dingin berhembus dari arah Lara. 

Orang-orang mulai melangkah keluar, memang karena proses pemakaman telah usai. Aku duduk melepas lelah, sambil menunggu agak sepi. Seolah bisa melihat senyumnya, air mata mulai menggenang, tidak percaya bahwa ia telah tiada. 

//

Wangi tanah basah sering kali masih menghampiri. Walaupun tidak sejelas dulu, ketika ia baru saja pergi. Entah itu pertanda apa. Mungkin pertanda bahwa ia telah bahagia di sana.

Sudah beberapa hari ini bonsai-bonsaiku kering. Padahal, setiap pagi aku menghampiri mereka untuk menyapa dan tentu saja aku tidak lupa untuk menyiraminya. Aku lebih sering mengunjungi bonsaiku, daripada diriku sendiri. Tapi, tetap saja mereka begitu kering.

Ia telah pulang, dengan tenang dan senang.

Apakah aku juga senang?

Pertanyaan itu selalu menghampiri belakangan ini.

//

Aku tetap ingin menjadi air yang menyiraminya, merekah berbinar tanpa terhalang. Namun, belakangan entah mengapa, sepertinya air yang aku gunakan membuatnya justru semakin redup, layu tak berbinar. Sudah kutanya ada apa, ia hanya membalas sekenanya tanpa menunjukkan gurat rasa. Kuulangi beberapa kali pertanyaanku, ia hanya menjawab, "Aku tahu."

Bonsai-bonsai ini sudah lama menjadi teman mengobrolku ketika suasana sedang mendingin. Dingin yang tidak tampak oleh mata. Ia pernah memandangku ketika aku sedang berbagi binar-binar dengan bonsai di halaman rumah. Matanya seperti bicara kepadaku, "Tidak apa-apa." Aku langsung menutupi binarku, berharap tidak ada berkasnya yang menyembul hingga tertangkap olehnya. 

Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ia juga sedang tumbuh? Atau hanya karena aku takut, maka aku punya pikiran seperti itu?

//

Bunga yang layu bukan tidak ingin bertemu bunga lainnya. bukan tidak ingin melihat bunga lainnya merekah, bukan tidak ingin menyapa sinar matahai. Ia hanya sudah bertemu waktu, yang telah menentukan: ia perlu berhenti. 

Melihat dinding kamar ini membuatku teringat masa itu; dingin dan beku. Hangat sudah lama tidak datang. Aku berjalan menuju pintu depan untuk duduk di teras. Sudah kebiasaannku sejak dulu untuk membiarkan angin masuk mengisi rumah yang kedinginan. 

Ada kotak terletak di depan pintu. Tidak terlalu besar, mungkin seukuran kotak sepatu. Aku bingung siapa yang meletakkan ini? Apa karena aku terlalu dalam melamun hingga aku tidak mendengar ketukan pintu? Memang, tadi aku seperti mendengar ketukan pintu ketika aku sedang memikirkan binar-binar pada bonsaiku. Kukira itu hanya ada dalam mimpiku saja, ternyata aku tidak bermimpi.

Kotak itu terlihat ringan. Namun, entah mengapa ketika mengangkatnya terasa berat. Terlebih lagi ketika melihat isi yang ada di dalamnya. Semakin berat tubuh ini untuk bergerak. Entah apa yang menggantungi tubuh ini.

Aku kehilangan cahaya. Gelap.



Untukmu binarku

Tulisan tanganku mungkin bukan yang terindah. Kacamata pembesar kamu perlukan.

Bukan maksudku menyebar hawa dingin pada dinding yang kemudian menjalar ke seisi rumah. Tidak ada maksud menutupi guratan pada wajahku ketika kamu bicara. Percayalah, aku sudah melakukan semua untukmu dan memang selalu untukmu. Siapa lagi?

Hanya saja, aku harus pulang ke tanah basah dengan wangi melati semerbak mengelilingi. Ini waktuku untuk pulang. Sebab aku tahu, sudah selesai tugasku. Kejar terus sinar yang merekah itu, aku tidak akan menghalangi. Tetap sebar sinar itu ke anak-anak, dua binar yang aku bawa ke tanah basah.

Semoga kamu terus merekah







Comments

Popular Posts