Lara - 2


Sebelumnya di Lara - 1, "Ibumu aku temukan di halaman belakang rumah, dekat mesin cuci dan bonsaiku, tersungkur memeluk lutut dengan napas tersengal-sengal."


Sebenarnya ibu sudah mati jauh sebelum kematian ibu kemarin. Aku tahu. Walaupun aku tidak banyak bersuara, tapi aku punya perasaan yang cukup kuat. Ibu pun begitu. Aku sering melihat ia tersenyum dan melakukan apa yang harus dilakukan. Ketika berbicara pun, ibu hanya membuka sedikit mulutnya. Aku tidak merindukannya, hanya merasa tidak lagi memiliki jiwa. 

//

Bau tanah basah yang telah terinjak-injak kaki manusia dan bunga melati semerbak mengelilingi. Suara isak tangis tidak lagi terdengar, tertutup terik matahari. Yang tertinggal hanyalah peluh keringat dan kaus basah karena keringat.

Kedua tangan Lara sejajar dada; saling mendekap, bercampur tanah. Lara tidak menangis, tapi matanya menatap ke bawah terus-menerus, ke pusara yang baru saja ditutup tanah basah. Mulutnya komat-kamit, mungkin menyampaikan doa untuk ibunya di dalam sana.

Lara membalas pelukan saudara dan teman-temannya dengan biasa saja. Senyum Lara mengisyaratkan ia telah menerima kematian ibunya. Ya, ibunya telah mati. Ditemukan di halaman belakang rumahnya, meringkuk, memeluk lutut dengan tubuh berguncang yang hampir kaku. Raut muka ibunya tidak menyiratkan apapun. Justru keikhlasan terpancar, meninggalkan semua yang dicintainya di dunia ini.

Lara hanya ingin melihat ke bawah, ke tanah tempat ia berpijak. Sebab, hanya itulah yang membuat Lara percaya, ia masih hidup.

//

Aku ingat pernah tersentak tiba-tiba ketika sedang menunggu kelas dimulai. Kala itu, aku teringat ibu pernah berkata, "Aku sudah tua, hanya menyisakan tulang. Kamu tahu, aku terlalu tahu banyak hal, termasuk saat kamu mengatakan pergi ke perpustakaan bersama Ina, tapi sesungguhnya kamu pergi bersama Deri," ia berhenti sejenak dan tersenyum. Kemudian, ia melanjutkan, "Aku harap kamu bisa mengerti, mengapa beberapa hal harus berjalan seperti itu." Setelah berkata seperti itu, ia berjalan menuju dapur, menyalakan kompor, dan mulai memasak.

//

Sudah tiga hari Lara berdiam diri di rumah, mungkin lebih tepatnya berdiam diri di kamar dan di halaman belakang rumah. Lara hanya diam, mematung, dan memandangi satu titik yang ada di dekat kaki. Lara sedang memandangi lantai semen bekas tempat ibunya meringkuk sambil memeluk lutut dengan bibir biru. Wajahnya tidak terlihat sendu, juga tidak terlihat sumringah; segala yang hadir menjadi saru.

Kediaman Lara menjadi sunyi. Kata-kata tidak banyak keluar dari ayah Lara, maupun kakaknya. Mereka berbicara melalui tatapan, tanpa ada tambahan. Biasanya, ketika malam tiba suara klentongan dari penggorengan dan sodet beradu dari arah dapur. Juga suara kompor yang baru dinyalakan. Juga suara ibunya yang mengajak mereka makan.

Kini, tidak lagi. Semua sunyi, dikelilingi diam.

//

Aku tahu, memang inilah yang ibu inginkan. Ibu telah memilih untuk mati di hari itu, di jam itu, dan di tempat itu.

Mungkin menurut ibu, berbaring di antara bonsai milik ayah dan hangatnya lantai semen merupakan hal yang membuat dirinya nyaman. Mungkin menurut ibu, meninggalkan semuanya pada saat matahari masih terjaga merupakan hal yang pas; tidak terlalu gaduh, tapi juga tidak terlalu tenang.  

Tiba-tiba, aku dapat mencium semerbak wangi melati yang bercampur dengan tanah basah.

//

Suasana di rumah mendingin. Tidak ada perasaan yang disuarakan, seperti sedang perang dengan diri sendiri; memerangi kejadian yang baru saja terjadi. 

Kakak dan ayahku bersikap biasa, seolah tidak ada yang salah dengan kematian ibu dua minggu lalu. Kakak menyuap makanannya dengan biasa-biasa saja, sama seperti ketika ibu masih ada. Ayah pun begitu. Mungkin bedanya, ayah lebih sering menunduk dan tidak berani menatap mata anak-anaknya. Mungkin ia merasa bersalah atau merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Atau, ia merasa perlu menjelaskan sesuatu, tapi entah tidak sanggup atau tidak ingin. Sementara itu, aku sendiri juga menyuapkan makanan biasa saja, seperti tidak ada perasaan minor yang mengganggu pikiran. 

Meja makan menjadi tempat paling ramai sekaligus paling hening dalam rumah.

//

"Kamu perlu makan."

Udara berhembus dingin.

"Setidaknya, kamu minum susu saja," tak gentar aku menghadapi hawa dingin itu.

"Tapi, tadi kita sudah makan."

"Jam makan memang sudah lewat. Aku dan kakakmu sudah makan, tapi kamu belum."

"Tapi, kita sudah makan. Kita sudah makan, ayah. Ayah tidak perlu khawatir."

Aku menyerah pada hawa dingin itu. Kita sudah makan, katanya.

//

Kebiasaanku membuka pintu depan ketika sore menghentakku. Ada kotak yang diletakkan di depan pintu. Siapa yang meletakkannya?

Kotak itu tidak berat, justru ringan. Tapi, entah kenapa ketika mengangkatnya terasa begitu berat. Terlebih lagi ketika melihat isi yang ada di dalamnya. Semakin berat tubuh ini untuk bergerak. Entah apa yang menggantungi tubuh ini.


Comments

Popular Posts