Mempermainkan Ruang Maya ala Teater Pandora dalam "Nostalgi Irasionale"

*Pertunjukan ini memang telah dilakukan beberapa bulan lalu. Melihat kenyataan tersebut, tulisan ini memang bisa dikatakan telat terbit. Tapi, bagi saya yang paling penting adalah menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Maka, itulah yang dilakukan di sini.*


Lagi-lagi suguhan pertunjukan virtual menjadi salah satu alternatif hiburan dalam situasi kala ini. Bisa dibilang, pilihan untuk menonton pertunjukan ini juga didasari atas keingintahuan: Akan seperti apa pertunjukan di masa depan.


Teater Pandora menggagas #MempermainkanRuang, yaitu inisiatif untuk membawa pertunjukan teater ke dalam ruang yang tidak biasa digunakan untuk mempertunjukan teater. Dengan gagasan yang bisa dibilang cukup fresh, Teater Pandora nggak berhenti untuk memunculkan ide-ide lainnya, termasuk pada situasi saat ini. 

Saat ini, ruang bertemu dibatasi menjadi ruang temu virtual. Dengan hanya ruang virtual, maka bagaimana pertunjukan teater dapat disuguhkan? 

PROSEDUR MAYA UNTUK PERTUNJUKAN VIRTUAL

Teater Pandora mencoba menawarkan pertunjukan melalui aplikasi Zoom; aplikasi yang belakangan sedang gencar-gencarnya digunakan sebagai ruang bertemu. Prosedur yang biasanya dilakukan sebelum pertunjukan dimulai adalah pembelian tiket. Proses pembelian tiket berjalan hampir seperti biasanya, hanya saja tidak ada wujud tiket yang diberikan, melainkan "Terima kasih" dan "Sampai jumpa nanti" saja melalui teks. 

Sehari sebelum pertunjukan, kami para penonton telah dikumpulkan dalam satu ruangan WhatsApp dan wajib mengisi formulir registrasi berisikan nama kami. "Nama yang tidak sesuai dengan yang didaftarkan tidak akan di-admit," kata panitia pertunjukan. Semua begitu perlu terstruktur: nama dan pos-el perlu selaras karena itulah yang nantinya menjadi pegangan panitia agar tidak ada penyusup yang masuk. 

Lucu juga. Dulu, dalam pergelaran pertunjukan teater "konvensional", nama penonton tidak menjadi unsur penting. Yang penting kursi terisi penuh hingga ke balkon. Mungkin saja ada kerabat yang memang dikenal, datang menonton untuk memberi dukungan. Tetapi, selebihnya nama-nama penonton menjadi urusannya masing-masing. 

Tidak hanya itu saja, pertunjukan ini adalah pertunjukan virtual yang artinya perlengkapan menonton milik penonton masing-masing di rumah. Makannya perlu ada peraturan yang mengatur mengenai pengaturan aplikasi Zoom. Bahkan panitia menyediakan video petunjuk pengaturan untuk pertunjukan ini, yaitu: tidak boleh menyalakan audio dan video selama pertunjukan, serta atur tampilan menjadi gallery view. 

Ketika hari pertunjukan tiba, panitia sejak sore hari telah mengingatkan para penonton untuk datang tepat waktu. Sebab, keterlambatan tidak akan ditoleransi lagi. Maksud dari "datang terlambat" ini mungkin memiliki makna yang sedikit berbeda: jika telat klik tombol join, maka bisa saja Anda tidak lagi dianggap sebagai penonton walaupun telah membeli tiket. Setelah klik tombol join, penonton diarahkan ke ruang tunggu sebelum akhirnya kamera Teater Pandora dibuka. 

Belum. Bukan pemain yang muncul, tetapi panitia yang mengatur pertunjukan ini. Sekali lagi -setelah sejak kemarin terus diingatkan-, panitia mengatakan untuk mematikan audio serta video dan mengubah tampilan menjadi gallery view. Tidak hanya itu, panitia bahkan menampilkan kembali video yang sebelumnya telah dibagikan di ruang WhatsApp.

Betapa perpindahan ruang ini membuat kita ketar-ketir, karena walaupun ruang maya penciptanya adalah manusia, tetapi tetap saja kita butuh penyesuaian. 




ROBOT AI, BULAN ALZHEIMER SEDUNIA, DAN KEBARUAN PERTUNJUKAN

"Nostalgi Irasionale" bercerita tentang Tuan Ian, mengidap alzheimer, yang tinggal di panti jompo. Sehari-hari, ia ditemani suster Ratna dan Tera, robot AI. Suatu hari terjadi penurunan daya sehingga Tera yang biasanya mengatur dan menemani Tuan Ian menghilang. Tuan Ian justru tersambung dengan panggilan layar dari orang-orang pada masa lalunya. 

Robot AI dalam "Nostalgi Irasionale" seperti properti yang menguatkan latar tahun pertunjukan ini, tahun 2050. Bahkan Tera, nama robot AI dalam pertunjukan ini, hampir berlaku sebagai tokoh karena adanya dialog yang terjadi antara Tuan Ian dan Tera. Mungkin di masa depan, memang betul manusia tidak lagi bercakap dengan sesama manusia, melainkan dengan robot. 

Apa kau pernah merasa gelisah? 
Kau tidak pernah merasa sedih? 
Kesepian?

Merupakan beberapa pertanyaan yang Tuan Ian ajukan kepada Tera. Keingin-tahuan atas perasaan yang dirasakan oleh robot menjadi satu hal mungkin betul-betul membuat manusia penasaran. Adegan seperti ini, juga ditemukan dalam pertunjukan Utak-Atik Digital dari teman Kalangan yang juga sudah pernah ditulis di blog ini.  

Mungkin saja, percakapan dengan robot AI akan menjadi adegan yang sering muncul dalam pertunjukan beberapa saat ke depan. Adegan ini dirasa menjadi representasi yang tepat karena, 1) situasi saat ini yang membuat kita, manusia, menjadi lebih banyak berinteraksi dengan komputer dan 2) adegan ini sebagai bentuk ramalan kita, manusia, atas situasi di masa depan.

Selain Tera, karakter Tuan Ian sebagai pengidap alzheimer mungkin menjadi satu alasan pementasan ini dibuat, yaitu bertepatan dengan Bulan Alzheimer sedunia. Situasi yang dilalui oleh pengidap alzheimer bisa dibilang tergambar dalam karakter Tuan Ian: terkadang sangat bersemangat, beberapa saat sangat lesu, dan ada saat ketika ia lupa sedang berbicara dengan siapa. 

Cerita dalam pertunjukan ini menggabungkan masa lalu dan masa kini. Ketika penurunan daya terjadi, Tuan Ian tersambung dengan beberapa orang dari masa lalunya. Menariknya, orang-orang dari masa lalunya Tuan Ian digambarkan seperti orang-orang yang berasal dari era sekarang ini (sekitar 2020). Hal itu terlihat dari tokoh Heidi, yang sedang bermain games online dan Esther yang seperti sedang live membaca puisi. 

Sayangnya, alur cerita seperti hanya lewat begitu saja, tanpa adanya konflik atau karakter yang terlalu membekas. Konflik Tuan Ian yang ingin bertemu Esther, kekasihnya dulu, tidak meninggalkan luka atau duka dalam sehingga tidak membuat penonton (saya) terhanyut suasana. Jadi, ketika pada akhirnya Tuan Ian (dari masa depan) dan Esther (dari masa lalu) bertemu dalam dunia virtual, tidak terlalu terasa getar perasaan dalam pertemuan itu. Mungkin karena saya belum terlalu sayang terhadap tokoh Tuan Ian dan Esther.

Kemudian, adegan ketika tokoh Ian muda yang bertemu dengan Tuan Ian pun lewat begitu saja. Keteganan dalam adegan tersebut tidak begitu nyata karena Ian muda seperti begitu mudahnya menerima bahwa ia sedang berbicara dengan dirinya di masa depan. Begitu pula ketika ia setuju untuk mempertemukannya dengan Heidi, kawan baik Tuan Ian. Di sini, logika seperti kurang berjalan: tiba-tiba ada orang tua yang muncul di depan layarmu dan meminta bantuan untuk bertemu dengan temanmu, dan begitu saja dibantu. Mungkin situasi ini bisa dijelaskan dengan karakter Ian muda yang senang dengan cerita fantasi dan konspirasi. Tetapi, karakter tersebut tidak digambarkan dalam laku para aktornya, melainkan saya baca dari penjelasan dalam laman Instagram Teater Pandora.

Perjalanan yang dilalui Tuan Ian mungkin seperti closure kepada, tentang, dan atas dirinya. Bisa dibilang, cerita dalam "Nostalgi Irasionale" (ingin/berusaha) menggabungkan drama perjalanan hidup dan cerita fantasi. Tapi (lagi-lagi tapi), terasa begitu tanggung; lebih dari sedang, tapi belum cukup (definisi diambil dari KBBI Daring). 

Bisa saja memang Teater Pandora lebih memilih untuk fokus terhadap "kebaruan" cara mementaskan sehingga memang itu yang ditonjolkan dalam pertunjukan, juga dalam promosi dan penjelasan pementasan. Dengan demikian, alur cerita sedikit dikorbankan agar fokus utama dapat tetap berjalan. 

PERTUNJUKAN VIRTUAL DAN PENUTUPNYA

Tidak banyak teater yang melakukan diskusi sehabis pentas. Teater Pandora melakukan diskusi yang mungkin lebih cocok disebut sebagai obrol santai. Dalam obrol santai tersebut, dijelaskan beberapa hal yang mendukung pertunjukan ini; seperti penempatan kamera, ruangan yang digunakan para aktor, dan lain-lain. 

Penempatan dan penggunaan kamera mungkin menjadi salah satu yang cukup menarik. Sebab, dalam beberapa adegan, penempatan kamera menjadi unsur yang penting karena memperlihatkan pergerakan aktor dari dan ke dalam ruangan. Selain itu, penggunaan dan pembagian ruangan yang digunakan para aktor juga menjadi menarik. Dengan pertunjukan virtual, yang menjadi penting adalah apa yang terlihat di depan kamera. Dalam pertunjukan ini, kebanyakan adegannya tidak bergerak; para aktor duduk di hadapan meja dan berdialog. Di balik itu semua, terdapat meja operator, sambungan kabel, dan orang-orang yang membantu perpindahan kamera serta aktor.  "

"Nostalgi Irasionale" merupakan pertunjukan virtual secara harfiah karena tidak saja menggunakan internet (aplikasi Zoom) sebagai medium tempat pertunjukan, tetapi juga beberapa aktornya ada yang beraksi dari rumah masing-masing. 

Obrol santai di akhir pertunjukan mayoritas berisi elu-elu pujian atas kesuksesan pementasan virtual Tetaer Pandora. Tentu saja keberanian dan ketangkasan Teater Pandora untuk mengutak-atik ruang pertunjukan perlu diapresiasi. Namun, apresiasi yang sesungguhnya (menurut saya) bukan saja berupa pujian, tetapi bagaimana pertunjukan dilihat secara kritis. 

Pada akhirnya, manusia memang harus terus beradaptasi, kemudian teknologi mau tidak mau menjadi solusi, dan teater, sebagai seni pertunjukan, tentu akan merefleksikan perjalanan yang dialami manusia itu. 

Comments

Popular Posts