Rumah, Tubuh, dan Tanda-Tanda yang Divisualisasikan dalam "Bayang-Bayang Di Kamar Tubuhmu-Ku"




Lalu, apakah cerita yang terangkum dalam tubuh dapat menjadi pondasi sebuah rumah, yang dapat membawa kita pada sejarah diri kita sendiri?

Siasat Saat Ini

Jujur saja, saya bukanlah pelaku seni pertunjukan. Saya hanya berlaku sebagai penonton saja. Dengan adanya situasi seperti saat ini, banyak yang mempertanyakan, “Apakah pertunjukan seni melalui kanal media sosial termasuk dalam kategori pertunjukan?” Tapi, apakah dengan situasi tersebut kita hanya terus-terusan mempertanyakan tanpa actually doing something about it?


Siasat yang dilakukan oleh salah satu kelompok teater di Bali, Teater Kalangan, untuk mengatasi situasi saat ini adalah dengan membuat program Dini Ditu Kalangan. Program ini bisa dibilang merupakan respon atas situasi pandemi yang tidak memungkinkan untuk membuat ruang pertemuan. Media sosial-lah yang kemudian dijadikan sebagai ruang pertemuan atas pertunjukan-pertunjukan yang dilakukan teman-teman Kalangan. Salah satunya adalah pertunjukan Utak-Atik Digital: Bayang-Bayang di Kamar Tubuhmu-Ku” oleh Jong Santiasa Putra.


Beberapa tahun lalu, tulisan tentang pementasan "Buah Tangan dari Utara" juga sempat diterbitkan dalam blog ini. Dalam tulisan itu, aspek emosi dan peristiwa yang hadir dalam pertunjukan menjadi buah utama. Karena memang itulah yang dirasa ketika pertunjukan berlangsung. Sangat kontras dengan tulisan kali ini yang pertunjukannya dilakukan dengan batas layar telepon genggam (HP).


Sebelum membicarakan Utak-Atik Digital: Bayang-Bayang di Kamar Tubuhmu-Ku lebih dalam, perlu disinggung pertunjukan ini menggunakan platform YouTube sebagai ruang pertemuannya. Mata acara lain dalam Dini Ditu Kalangan menggunakan fitur Live Instagram yang kemudian diunggah menjadi IGTV. Dengan dunia yang serba digital seperti sekarang, platform digital pun memiliki karakteristik dan kepribadiannya masing-masing. Apakah ada tujuan tertentu pertunjukan ini diunggah ke YouTube dan bukan ke Instagram?


Visualisasi dan Tanda-Tanda: Rumah dalam Tubuh



Pada baris pertama deskripsi pertunjukan tertulis, "Di dalam tubuhku ada banyak rumah," yang persis digambarkan pada adegan pembuka pertunjukan ini. Ada tangan yang menggambar tubuh aktor dengan gambar rumah, yang dihubungkan dengan garis menyambung tanpa putus.


Sembari gambar rumah dibubuh pada tubuh aktor, terdapat bulatan video yang memperlihatkan seseorang sedang membangun pondasi rumah. Tidak hanya itu, di belakang visual-visual tersebut terdapat audio percakapan yang terjadi antara anak dan orang tuanya seputar, "What do you want to be when you grow up?"


Adegan pertama ini (anggap saja begitu, ini pembagian menurut saya saja) berlangsung sejak detik 0:06 hingga menit 3:28. Dengan hadirnya layar HP sebagai pembatas, energi pemain seperti tidak dapat menembus batas tersebut. Konteks serta alur cerita dalam adegan pertama ini juga berkutat dalam layar HP itu saja. Tapi, mungkin di situlah gunanya kita sebagai penonton: untuk menerjemahkan tanda-tanda yang dilepas begitu saja dalam layar HP.


Rumah yang secara harfiah digambar pada tubuh aktor menjadi visualisasi terhadap bagaimana tubuh ini sebenarnya memuat berbagai cerita hingga akhirnya berbentuk seperti tubuh yang saat ini kita miliki. Cerita-cerita itu lahir dari rumah-rumah yang berdiri dalam tubuh ini; bahwa kita pun memiliki dan membangun sejarah kita sendiri.


Percakapan dalam Kepala dan Asisten Google



Dari tiga adegan, adegan kedua mungkin bisa dibilang sebagai adegan utama karena durasinya yang paling panjang. Sejak menit 3:29 hingga menit 14:17, latar pertunjukan berada di sebuah tempat yang sepertinya adalah dapur. Layar HP tempat kita menonton pada dasarnya terbagi menjadi dua: sebelah kiri tampil Asisten Google yang sedang bercakap--cakap dengan suara aktor dan sisa layarnya diisi oleh aktor yang sedang membuat sesuatu di kompor.


"Apakah tubuhku ini bagian dari sejarah?"

"Tubuh untuk apa sebenarnya?"

Percakapan antara Asisten Google dan suara aktor bisa dibilang menjadi bagian sentral dari pertunjukan. Apakah cocok untuk disebut sebagai percakapan? Entahlah. Sebab isinya bermacam-macam, mulai dari tertawa, bersin, pantun, rekomendasi makanan, hingga pertanyaan berkaitan dengan tubuh dan sejarah. Bagian ini seperti mimik terhadap yang terjadi pada banyak kepala manusia: bercakap-cakap dengan diri sendiri, membicarakan apapun yang terlintas. Sambil bercakap-cakap, tubuh tidak bisa diam. Ini yang dilakukan si aktor. Entah apa yang dipikirkan, tubuhnya bergerak-gerak, meskipun ruang yang ada hanya secuil.


Tanpa disadari, berkelana dalam kepala sendiri dapat cukup menyita waktu. Tiba-tiba sudah 10 menit berlalu. Yang pada awalnya memiliki makna, bila dilakukan bertubi-tubi tanpa ada alur yang jelas, bisa saja menjadi kehilangan makna. Itu yang terjadi, menurut saya, pada adegan kedua ini.


Dokumentasi Digital, Fisik, dan Kulit yang Berganti-Ganti



Adegan tiga dibuka dengan seruan, "Masuk, masuk, aktor masuk!" mungkin dari si penyusun pertunjukan. Tentu dalam pertunjukan "tradisional", situasi ini dianggap tidak ideal. Tapi, entah mengapa justru hal ini seperti isyarat, "inilah proses sesungguhnya yang terjadi dalam usaha membangun sebuah pertunjukan". Pada tengah-tengah bagian adegan tiga, situasi serupa terulang kembali; "Keluarin tanganmu, Dek!". "Nari-nari kecil, Dek!" dan seruan lainnya. Bila seruan-seruan itu terjadi pada pertunjukan langsung, mungkin akan menjadi situasi yang canggung dan lucu.

Terdapat bingkai-bingkai yang menjadi latar pada adegan tiga. Bingkai pada sisi kiri diisi dengan layout Instagram dan pada sisi kanan diisi dengan dokumentasi memori yang dipertunjukkan melalui foto yang scanned. Aktor berada di tengah, berada dalam benda bulat, yang berbentuk seperti kepala, menggerak-gerakkan tangannya sambil menggapai udara. Di pertengahan, aktor mengenakan baju yang seperti baju bengkel (?) dan dirangkap dengan blazer.

Adegan ketiga ini memperlihatkan bagaimana saat ini kita mendokumentasikan memori melalui akun digital dan bagaimana dulu foto film sempat menjadi satu-satunya cara. Aktor yang mengenakan baju bengkel dirangkap dengan blazer menggambarkan kita sebagai diri tidak hanya terdiri atas satu lapisan, melainkan banyak lapisan.

Diri, Rumah, dan Pertunjukan Digital
Dalam situasi yang tidak biasa seperti ini, memang refleksi terhadap diri sendiri sering terjadi; mempertanyakan akar diri dan bagaimana tubuh ini dapat menampung semua cerita sehingga dapat membentuk diri kita hingga hari ini. Pertunjukan ini mampu memvisualkan apa yang mungkin terjadi pada benak banyak orang. Dengan latar sederhana dan eksekusi yang juga sederhana, pertunjukan ini terasa dekat. Mungkin memang hal tersebut yang diutamakan dalam eksekusi pertunjukan ini sehingga alur cerita, laku tubuh aktor, dan percakapan tidak begitu banyak diperhitungkan. Editing dalam pertunjukan multimedia ini juga tampaknya dibiarkan begitu saja; tidak ada efek spesial, hanya menggabungkan beberapa windows dalam satu layar.

Diri bisa menjadi pembicaraan yang begitu dekat sekaligus begitu jauh. Diri menampung cerita-cerita dalam rumah yang dibangun. Dari cerita dalam setiap rumah tersebut, sejarah terbangun; membentuk diri kita hari ini. Tanda-tanda yang dihadirkan dalam pertunjukan melalui kanal digital meninggalkan jejak; saat ini kita sebagai manusia sedang beradaptasi terhadap perubahan situasi yang terjadi. Apakah jejak ini akan tetap diperhitungkan waluapun kita sedang menuju kepunahan?

Comments

Popular Posts