"Buah Tangan dari Utara": Pementasan Teater tentang Konflik Kalangan yang Tak Terdengar

"Bagi Anda yang pernah mengalami kekerasan, misalnya di tangan, maka tandai tangan pemain. Saya ingin Anda semua berpartisipasi."

Begitulah salah satu adegan dari pementasan "Buah Tangan dari Utara" oleh Teater Kalangan. Sebenarnya, saya ingin berpartisipasi, mencoba ikut membuka dan terbuka tentang kekerasan yang selama ini telah tertutup angin. 

Namun, saya ragu. Saya bukannya memiliki hidup yang sangat indah sehingga tidak pernah terjadi kekerasan di sekitar dan kepada saya. Hanya saja, saya tidak lagi dapat membedakan, apakah yang saya alami itu termasuk kekerasan?


Pementasan Teater Kalangan tersebut, yang ditampilkan pada acara penutupan Enam Belas Film Festival Bali, menceritakan tentang konflik nyata yang terjadi antar warga dan pengelola PLTU di daerah Buleleng. Latar dari cerita pementasan ini terdengar sangat tidak asing bagi saya sebab teater memang menjadi salah satu media bersuara bagi orang-orang yang tertindas. Selain itu, penindasan-penindasan yang terjadi pun tidak jauh-jauh dari putaran PLTU dan ("masalah") pembangunan lainnya. 

Ada banyak hal yang membuat saya bahagia, juga cemas.

Saya merasa bahagia karena saya kembali melihat teater yang saya bayangkan sebelumnya. Menggunakan suara pemain asli, tanpa ada bantuan mikrofon dan alat lainnya; para pemain pun memanfaatkan tubuhnya untuk menyampaikan berbagai pesan yang ingin disampaikan; juga, teater kembali menjadi bentuk yang komplet untuk menyampaikan kegelisahan-kegelisahan masyarakat.  

Pementasan dibuka dengan para pemain "mengusir" para penonton, yang sudah duduk rapi, agar membuka jalan untuk mereka lewat sekaligus menjadi bagian adegan dari pementasan tersebut. Para pemain muncul dari kerumunan penonton sehingga seperti tidak ada batas antara penonton dan pementasan itu. Adegan tersebut mêrêka kejadian tentang penggusuran secara paksa dan keras oleh aparat (saya tidak tahu apakah kata ini cocok untuk merepresentasikan kejadian yang sesungguhnya?) terhadap warga (biasa) karena rumah mêrèka berada di wilayah pembangunan. 


"Minggir, kalian! Minggir!"

Para pemain memaksa masuk ke dalam ruang penonton sehingga berhasil membuat penonton terusir dan sedikit membentuk ruang spasi agar mereka dapat menyelesaikan adegan-adegan selanjutnya. Hal ini juga membuat saya bahagia. Sebab pementasan teater kali ini tidak dibatasi oleh panggung dan penonton, melainkan penonton dan panggung melebur menjadi satu. Dapat saya katakan melebur karena para pemain berhasil membuka jalan untuk mereka lewat, yang tadinya sudah dipenuhi oleh para penonton. 

Kebetulan saya duduk cukup dekat dengan adegan "pengusiran" tersebut. Sengaja saya tatap lekat-lekat mata para pemain yang lewat di samping untuk mengusir saya. Hal itu saya lakukan karena, saya tidak pernah berakting dan mungkin tidak akan bisa, saya ingin tahu apakah para pemain ini berada di dimensi yang lain saat memainkan perannya? 

Ternyata pemain pun juga berada pada dimensi yang sama dengan penonton. Pupil mata mereka membesar-mengecil berusaha menghadapi distraksi dari reaksi para penonton. Dan ini juga membuat saya senang.



Energi pemain dapat saya rasakan, entah karena jarak yang tidak terlalu jauh atau memang para pemain bekerja cukup keras untuk itu. Adegan-adegan berlanjut dengan cukup intens. Cerita yang dihadirkan cukup sederhana, namun pergantian adegan dibuat cukup intens. Para pemain memainkan beberapa peran sekaligus, berganti-ganti dengan tempo cepat. Menjadi model, aparat, demonstran, warga yang terusir, korban kekerasan aparat, juru ketik, dan lainnya. 

Pada awal pertunjukan, para pemain berhasil berganti-ganti peran dengan cepat dan tepat. Energi yang ditawarkan masih cukup terasa. Seiring berjalannya pertunjukan tersebut, energi yang dipancarkan semakin menurun. Tentu saja, sebab peran yang dimainkan tidak hanya butuh kekuatan fisik yang cukup prima, tetapi juga kekuatan emosi yang tidak sedikit. Seperti yang dikatakan tadi, para pemain muncul dari penonton, rasa-rasanya fokus para pemain pun menjadi tidak terlalu penuh. Mungkin ini juga berkaitan dengan hal-hal di luar pementasan. Walaupun begitu, hal ini juga cukup membuat saya senang.

Sebab, hal ini menandakan bahwa teater merupakan sebuah proses, bukan hasil. 


Lalu, sampailah ke adegan para penonton diminta untuk berpartisipasi menandai area yang pernah terkena kekerasan. 

Rasanya, kekerasan telah menjadi sesuatu yang sangat lazim sehingga kekerasan sudah terselubung menjadi satu dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari. Rasanya (lagi), saya perlu memelajari lebih jauh, sejauh mana kata kekerasan dapat diaplikasikan. 

Mungkin yang menjadi masalah selama ini bukan saja para korban tidak berani melapor, tetapi juga tidak mengeri apa itu yang dimaksud dan hal apa saja yang berhubungan dengan kekerasan. Atau dengan kata lain, tidak tahu aktivitas atau tindakan yang seperti apa yang disebut dengan kekerasan. 



Secara keseluruhan, pementasan teater dilakukan dengan apik. Bagi saya sendiri, hal ini merupakan pengalaman yang baru karena, rasanya (lagi), baru sekali ini saya tidak tahu mana akhir dari pementasan tersebut. Pada hampir akhir pementasan, salah satu pemain menarikan tari Joged Bumbung yang merupakan tari pergaulan. Saya kira adegan tersebut merupakan akhir dari pementasan. Namun, nyatanya masih ada satu adegan tersisa. 

Tentu, pementasan teater kemarin mampu meninggalkan kesan tentang realita konflik yang nyata. Serta konflik-konflik lain yang tidak terlihat oleh mata.

Biasanya, ucapan selamat diberikan untuk suatu pementasan teater yang sudah selesai ditampilkan. Saya pikir hal ini pantas untuk dilakukan karena Teater Kalangan membuktikan bahwa teater mampu menyuarakan kenyataan yang mendekati fakta. 

Lalu, ada satu pikiran yang melintas:

Apakah semangat menggebu yang disampaikan melalui pertunjukan teater dan diskusi singkat pasca pertunjukan dapat terus melekat hingga keluar ruangan?
Ataukah hanya mampu menyala panas di kala ruangan tertutup?


Comments

Popular Posts