Ujaran Maya dari Sisi Linguistik: Benci Atau Bukan?

Melanjutkan tulisan sebelumnya, isu yang akan dibahas dalam tulisan ini condong pada pembahasan ujaran di internet. Bagaimana ketidakhadiran konteks fisik memengaruhi penggunaan bahasa dalam media di internet.

INTERNET DAN KONTEKS FISIK
Internet sudah bukan lagi menjadi "bagian besar" dalam kehidupan kita, tetapi memang sudah menjadi bagian dari kehidupan saat ini yang sulit dipisahkan. Saat ini, interaksi banyak terjadi dalam dunia maya; berbagai situs bermunculan seperti Facebook, Blog, hingga aplikasi percakapan yang lebih personal seperti WhatsApp.


Penelitian dalam media digital lebih banyak membahas tentang penggunaan bahasanya. Sebab, percakapan maya (misal dalam Facebook atau WhatsApp), tidak lagi menampilkan physical feature seperti dalam percakapan langsung. Apabila dalam percakapan langsung kita bisa melihat ekspresi, mendengar nada bicara, dan memperhitungkan gestur lawan bicara, maka dalam percakapan maya, fitur-fitur tersebut hilang (lihat Deumert, 2016).



Walupun fitur-fitur fisik hilang, tetapi tidak menghalangi kita untuk menggunakan media ini. Sebaliknya, pengguna (user, kita) merasa lebih nyaman dengan situasi ini karena dapat mengekspresikan pendapatnya tanpa perlu mengungkap siapa dirinya secara langsung dan nyata (Yus, 2011: 25).

UJARAN YANG DITULISKAN
Media baru tersebut menawarkan berbagai fitur, misalnya seperti unggah foto/video, story, dan sebagainya yang berhubungan dengan aspek visual. Tapi, sebagian besar masih fokus pada text-based communication, atau gampangnya bentuk teks (tulisan) masih mendominasi media tersebut. Misalnya, Instagram memang kebanyakan menonjolkan sisi visual, tetapi caption dan komentar publik (berbentuk teks) memiliki porsi besar dalam media ini. Twitter menjadi salah satu media yang meletakkan porsi teks cukup besar.

Menariknya, secara teknis teks yang diunggah ke media tersebut memang berbentuk tulisan (forms of writing), tapi teks yang diunggah dalam media ini sering dianggap sebagai bentuk dari bahasa lisan yang ditulisan (oralized written text). Kenapa disebut sebagai bahasa lisan yang dituliskan? Sebab, karakteristik teks dalam media baru ini mirip dengan bahasa lisan. Misalnya, ketika menulis chat di WhatsApp, biasanya kita akan menulis teks yang pendek-pendek (short utterances) dan interaksi antar-penutur sangat interaktif (lihat Yus, 2011: 197). Selain itu, banyak terjadi elipsis (ada fungsi kalimat yang hilang, misalnya kamu hanya menuliskan "di mana" yang seharusnya dituliskan, "kamu di mana?") dan kita banyak menggunakan deiksis (itu, ini, di sana, di sini) (lihat Hemphill, 2011: 71).


Lebih lanjut, dalam interaksi langsung (menggunakan bahasa lisan) biasanya aspek non-verbal cukup kuat menonjol. Aspek non-verbal seperti anggukan, bahasa tubuh/gestur, lirikan, dan sebagainya. Aspek non-verbal ini tidak muncul dalam percakapan maya. Untuk menyiasati hal itu, kita (pengguna bahasa) menjadi kreatif dan inovatif dengan penggunaan bahasa kita.

Misalnya, untuk penekanan atau penegasan, kita menuliskan phonematic repetition atau menggunakan konsonan berderet (seperti, "seriusssss?"). Selain itu, huruf kapital biasanya diidentikan dengan "berteriak". Yang terakhir, penggunaan karakter (dalam keyboard) sebagai tanda non-verbal, atau lebih terkenalnya emoticons.  Emotikon menjadi fenomena yang cukup tren dalam pembahasan media baru ini.

Emoticons merupakan gabungan dari emotions and icons. Tapi, nyatanya, emotikon tidak hanya mewakili satu emosi saja. Misalnya, seperti contoh di bawah ini (diambil dari Yus, 2011: 168).

(15) Only an idiot like you would have done something like that ;-)

Apakah emotikon wink ";-)" betul-betul mewakili emosi yang dirasakan ketika orang tersenyum? Pada nyatanya, emotikon tersebut menyertai ujaran sarkasme dan rasanya malah makin menambah rasa sarkasme pada ujaran tersebut. Bahkan, beberapa waktu belakangan, emotikon dapat menjadi semacam bukti dalam beberapa kasus yang ada.

INTERPRETASI UJARAN MAYA
Seperti pada tulisan sebelumnya, untuk dapat mencapai sebuah interpretasi, tidak hanya dilihat dari kata atau struktur kalimatnya saja (aspek linguistik), tetapi juga dilihat aspek sosialnya (aspek nonlinguistik).Bagaimana caranya melihat aspek nonlinguistik tersebut?

Dalam interaksi maya, misalnya dalam Instagram, terdapat profil pengguna (user profile) yang biasanya berisi informasi dasar penggunanya. Dapat berisi foto, nama lengkap, dan informasi lain yang ingin kamu letakkan. Dari profil tersebut, dapat tercipta citra diri dari penggunanya, alias kita bisa membangun citra diri kita dalam dunia maya. Citra diri dalam dunia maya dibangun dari konten yang diunggah, komentar yang didapatkan, foto diri, nama, interaksi yang kita lakukan, dan banyak lainnya. Dengan begini, pengguna bebas membangun citra dirinya, bahkan yang berbeda dari dunia offline. 

Sementara itu, dalam kehidupan nyata, citra diri ini dibangun dalam waktu panjang, sebab citra terbentuk dari berbagai aspek dalam kehidupan. Misalnya, di mana kita kuliah/kerja, hobi, dan banyak lainnya.




Misalnya, temanmu mengunggah cuitan di Twitter, "anjing :-)" Kira-kira, bagaimana kamu akan menginterpretasikan cuitan itu?

Pertama, tentu konteks fisik atau dengan kata lain situasi yang sedang terjadi ketika cuitan itu diunggah menjadi aspek yang cukup penting. Misalnya, kamu tahu bahwa temanmu itu habis terlibat pertengkaran dengan teman yang lain. Let's say, pertengkaran di sekolah yang belum berujung baikan. Lima menit setelahnya, temanmu mengunggah cuitan itu. Pasti, kamu akan mengaitkannya dengan pertengakaran yang baru saja terjadi.

Setelah kamu tahu situasinya, barulah kamu melakukan inferensi, bagaimana teks "anjing :-)" merepresentasikan fungsi tertentu. Dalam situasi ini, cuitan itu berfungsi sebagai makian. Sebab, kata anjing sering digunakan sebagai kata makian dan dianggap sebagai bad words. Penggunaan emotikon senyum ":-)" menjadi tambahan yang unik. Karena, emotikon ini dapat bermakna macam-macam, bisa juga tergantung dari citra diri temanmu itu. Misalnya, kamu tahu temanmu bukanlah pribadi yang suka bertengkar, tetapi pertengkaran tersebut somehow tetap terjadi. Maka, mungkin kamu akan menginterpretasikan emotikon tersebut sebagai bentuk ekspresi temanmu bahwa ia ingin menunjukkan kekesalannya, tetapi jangan sampai terlalu emosional.

Tapi, biasanya interaksi maya lebih kompleks daripada contoh yang diberikan.

UJARAN-UJARAN MAYA
Belakangan, jika membicarakan ujaran di dunia maya, satu situasi yang cukup sering muncul: ujaran kebencian. Sudah banyak yang membahas tentang ujaran kebencian di media, terutama media sosial seperti Twitter. Menurut King dan Sutton (dalam Burnap dan Williams, 2015: 223), ujaran kebencian muncul atau cenderung meningkat "in the aftermath of an antecedent or "trigger" event."

Mari lihat salah satu cuitan dari salah satu kasus ujaran kebencian Ahmad Dhani tahun 2017 lalu. Cuitannya dikutip sebagai berikut.


"Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi muka nya - ADP"
6 Maret 2017
(dikutip dari berita Tribunnews.com)

Nah, sesuai dengan pernyataan dari King dan Sutton (2013), ujaran ini memang muncul karena ada trigger event. Pemilihan gubernur 2017 merupakan latar peristiwa pada saat itu. Dalam teori speech acts, terdapat tiga tahapan yang dilewati ketika penutur berujar: 1) locutionary act, 2) illocutionary act, dan 3) perlocutionary act. Tahap pertama, penutur memproduksi ujaran linguistik yang memiliki makna tertentu (lihat Yule, 1996: 48), yang dalam kasus ini merupakan cuitan yang ditulis tersebut. Perlu disinggung juga bahwa dalam media berbasis teks seperti Twitter (text-based), "all written texts involve a willingness to produce them" (Masterson, 1996, dalam Yus, 2011: 165). Sederhananya, pengguna (kita) tidak mungkin mengunggah sesuatu tanpa disadari atau tanpa sengaja. Sebab, semua yang diproduksi dalam media ini memerlukan willingness.

Ketika penutur melontarkan ujaran, ada tujuan yang ingin dicapai atau dengan kata lain penutur mengharapkan adanya tindakan atau respon ketika menghasilkan ujaran tersebut. Itulah yang terjadi dalam tahap kedua. Dengan begini, penutur mengharapkan adanya sebuah tindakan yang dilakukan ketika menuliskan cuitan tersebut. Terakhir, setelah melewati dua tahap tersebut, yang terjadi selanjutnya adalah efek (baik intensional maupun tidak) dari ujaran yang dilakukan. Dalam hal ini, penutur ingin cuitannya itu memiliki dampak tertentu.

Perlu diketahui, cuitan tersebut terjadi dalam durasi ketika pemilihan Gubernur Jakarta 2017. Selain itu, pada masa sebelumnya, terdapat kasus lain yang melibatkan salah satu kandidat calon Gubernur, dikenal dengan sebutan "Kasus Penistaan Agama". 

Dengan konteks situasi tersebut, maka frasa nominal "Penista Agama" yang ada dalam cuitan itu, merujuk langsung kepada individu (yaitu Ahok). Selanjutnya, "siapa saja yang dukung" ini bisa dikategorikan sebagai klausa relatif, yang bisa diartikan merujuk kepada pendukung Ahok (yang dalam cuitan tersebut diwujudkan dengan frasa nominal, Penista Agama) atau siapa saja (individu) yang memberikan dukungan kepada Ahok.

Sebelum lanjut, frasa nominal Penista Agama memang bisa saja bukan merujuk pada individu tertentu. Bisa saja frasa tersebut merupakan frasa general (umum). Namun, seperti yang sudah sering disinggung dalam tulisan ini, kita tidak bisa menanggalkan konteks begitu saja; baik konteks fisik, perisitwa, dan seterusnya. Dalam situasi ini, kasus Penistaan Agama baru saja merebak dan situasi pemilihan Gubernur 2017 sedang terjadi. Dengan pertimbangan tersebut, maka frasa nominal Penista Agama dapat dikatakan merujuk kepada individu tertentu.

Selanjutnya, frasa nominal "Bajingan" merupakan label yang merupakan perwujudan dari frasa siapa "saja yang dukung". Dengan kata lain, individu yang memberikan dukungan kepada "Penista Agama" diberi label "Bajingan" yang dalam bahasa Indonesia merupakan nomina yang memiliki makna penjahat; pencopet. Kata ini juga dapat dimasukkan dalam kata makian, sama seperti "Anjing" pada contoh sebelumnya, yang oleh KBBI Daring juga dimasukkan dalam klasifikasi adjektiva (kata sifat).

Frasa "Perlu di ludahi muka nya" (sic!) menggambarkan tindakan yang diharapkan terjadi dalam ujaran ini. Frasa tersebut menggambarkan tindakan membuang/menyembur ludah ke area muka. Tindakan ini ditujukkan (yang dalam cuitan itu dirujuk sebagai) "Bajingan" dan "Siapa saja yang mendukung Penista Agama".

PADA AKHIRNYA
Dari penjabaran singkat di atas, bisa dibilang interaksi dalam dunia maya, walaupun teks yang dikirm cenderung singkat, membutuhkan seluruh kemampuan inferensi kita sebagai pengguna bahasa agar bisa menginterpretasi ujaran tersebut sehingga ujaran tersebut dapat relevan dan bermakna (Yus, 2011: 143).

Kita sebagai pengguna bahasa akan melewati proses inferensi/interpretasi tanpa disadari. Sebab, proses tersebut terjadi secara alami dalam mental kognitif kita. Pada akhirnya, kembali kepada Anda bagaimana Anda-Anda mau menginterpretasikan sebuah ujaran. Tidak ada yang salah atau benar, karena penilaian mutlak hanya terjadi di atas kertas ujian.




*Beberapa artikel tentang ujaran kebencian di media sosial/dari sisi linguistik*

https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1002/poi3.85

https://preventviolentextremism.info/sites/default/files/A%20Lexicon-Based%20Approach%20for%20Hate%20Speech%20Detection.pdf

http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/ETLiJ/article/view/4120

https://ices.prosiding.unri.ac.id/index.php/ICES/article/view/7952/6864







Comments

Popular Posts