Minikino Film Week dan Kisah di Hari Senin




Interaksi-diskusi dengan penyusun program film tentu menjadi peristiwa yang biasa ditemukan dalam rangkaian festival film pendek. Namun, apa jadinya ketika yang diajak berdiskusi adalah anak-anak dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunarungu tanpa adanya fasilitas penerjemah bahasa Isyarat?

Sayangnya, situasi itulah yang terjadi di pemutaran Minikino Film Week hari Senin lalu. Anak-anak yang menjadi peserta, sekaligus penonton hari itu, berasal dari SLB Tuna Rungu. Logikanya, alat komunikasi yang mereka gunakan berbeda dengan orang Dengar (yang bisa mendengar dan berbicara) sehingga dibutuhkan penerjemah. Namun, ketika saya masuk ke dalam ruang pemutaran film, hanya ada satu guru yang berdiri di atas panggung untuk membantu menerjemahkan apa yang sedang terjadi dan dibicarakan. Sayangnya lagi, proses penerjemahan tidak berjalan lancar: Guru tersebut (yang membantu menerjemahkan) adalah guru Tuli sehingga ia bergantung pada hasil Isyarat rekan guru lainnya yang bisa mendengar, tetapi nyatanya ruangan pada sisi penonton cukup gelap sehingga guru yang berada di atas panggung (untuk menerjemahkan) tidak dapat mengakses Isyarat dengan lancar.

Tergelitik saya memikirkan, “Akankah diskusi tersebut tetap dilanjutkan tanpa memedulikan situasi yang terjadi?”

//



Senin, 7 Oktober 2019 / Sekitar Pukul 09:00 / Irama Indah

Kebetulan, pada hari ini ada jadwal membantu menerjemahkan. Ketika datang ke lokasi, belum terbayang seperti apa rangkaian acara yang akan berlangsung. Sebab, acara kali ini merupakan penggabungan atau pengkolaborasian dua acara yang mungkin bisa dikatakan saling melengkapi: pemutaran program film khusus anak-anak yang diselingi dengan edukasi mengenai kesehatan reproduksi. Rangkaian ini merupaka fringe event dari Minikino Film Week 5 yang bekerja sama dengan Bumi Setara, organisasi yang fokus pada pendidikan untuk para penyandang disabilitas. Oiya, edukasi kesehatan reproduksi ini diberikan oleh Kita Sayang Remaja (Kisara) Bali, sebuah komunitas yang fokus pada isu-isu remaja. 

Sebenarnya, penerjemahan baru dimulai pada pukul 10:00. Namun, sudah datang sejak pukul 09:00 untuk setidaknya mendapatkan gambran tentang presentasi yang akan dibawakan dari Kakak Kisara. Mungkin, sekitar pukul 09:30 obrolan tentang presentasi yang akan dibawakan sudah jelas. Sekitar 15 menit kemudian kami pun masuk ke dalam ruangan.

//

Tidak dapat dimungkiri, kami (saya dan satu rekan penerjemah lainnya) bingung ketika masuk ruangan dan melihat situasi tersebut. Ganjalan dan pertanyaan cukup banyak berseliweran. Tapi, tidak ada waktu untuk bingung-bingung karena diskusi tetap berjalan. 

//

Di samping rasa kebingungan yang sempat melanda, kegiatan berlanjut dengan lancar. Edukasi tentang kesehatan reproduksi yang diberikan Kisara Bali dapat diterima dengan baik oleh peserta hari itu: murid-murid salah satu SLB Tunarungu di Denpasar.

Diawali dengan presentasi umum tentang kesehatan reproduksi, kegiatan kemudian dilanjutkan dengan membagi peserta ke dalam dua kelompok sesuai jenis kelamin. Dalam kelompok-kelompok itu, dijelaskan dengan detail tentang kesehatan reproduksi, mulai dari bagaimana cara merawat alat kelamin, perubahan fisik yang terjadi, dan hal-hal lain yang perlu menjadi perhatian.

Menurut saya pribadi, edukasi seperti ini sangat dibutuhkan terutama untuk audiens usia anak sekolah dengan disabilitas (dalam hal ini anak-anak Tuli). Edukasi seperti ini membuka kesempatan bagi mereka untuk bertanya hal-hal yang selama ini mungkin tidak pernah dibicarakan karena rasa malu dan segan. Belum lagi, jika ada kendala dalam berkomunikasi.

Kegiatan edukasi ditutup dengan games sederhana menggunakan bendera berwarna merah, kuning, dan hijau. Dengan alat bantu yang visual seperti ini, menurut saya, sangat memudahkan anak-anak Tuli mengikuti permainan. Sebab, kemampuan visual merupakan kemampuan yang diandalkan oleh anak Tuli.

//

Setelah kegiatan edukasi berlangsung terdapat pemutaran program film lagi. Rupanya program kali ini merupakan program pilihan dari Clermont-Ferrand International Short Film Festival, festival film pendek di Perancis yang sudah berumur lebih dari 30 tahun. Program film kali ini dikhususkan untuk anak-anak umur 4 hingga 7 tahun.

Terdapat delapan film pendek dalam program ini yang masing-masing memiliki durasi sekitar 6 hingga 10 menit. Ke-delapan film ini merupakan film animasi dengan kualitas gambar, warna, dan detail yang luar biasa. Tentu, seperti yang sudah disinggung tadi, hal ini menjadi kesempatan bagus bagi anak-anak Tuli karena mereka mengandalkan kemampuan visualnya.

Mungkin karena sudah berada di lokasi sejak pagi, beberapa anak mulai merasa bosan dan mulai sibuk dengan kegiatannya sendiri. Tidak usah ditanya berapa banyak anak (dan orang, termasuk guru pendamping dan panitia sendiri) yang keluar-masuk ruangan ketika pemutaran sedang berlangsung. Ketika pintu dibuka, otomatis akan ada cahaya dari arah luar yang mengganggu ruang pemutaran film yang gelap. Selain itu, (entah mengapa) di tengah-tengah pemutaran film, panitia memutuskan untuk membagikan minuman kemasan kepada anak-anak. Tentu saja suasana menjadi kurang kondusif untuk suasana pemutaran film.

Sudah dua kali disinggung, anak-anak Tuli mengandalkan kemampuan visualnya dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dibayangkan, dengan suasana ruangan yang gelap, mereka tiba-tiba diberikan minuman kemasan oleh panitia yang tidak terlihat jelas wajahnya. Ada yang kaget, ada yang ingin bilang ke panitia, “Tolong, minta satu lagi,” tetapi panitia tidak melihat atau tidak mengerti (?), daaannn … lain-lainnya.

Suasana kurang nyaman ini tentu saja sangat disayangkan. Apalagi ada peserta umum yang juga menonton pemutaran pada saat itu. Padahal, pembagian minuman kemasan itu (rasanya sih) bisa saja dibagikan sebelum acara pemutaran film dimulai sehingga bisa meminimalkan suasana kurang kondusif seperti itu.Suasana kurang nyaman ini tentu saja sangat disayangkan. Apalagi ada peserta umum yang juga menonton pemutaran pada saat itu. Padahal, pembagian minuman kemasan itu (rasanya sih) bisa saja dibagikan sebelum acara pemutaran film dimulai sehingga bisa meminimalkan suasana kurang kondusif seperti itu.

///

Kata inklusif dan kesetaraan sepertinya cukup populer belakangan ini, baik karena memang kepedulian yang mulai meningkat maupun karena kewajiban yang harus dijalankan. Namun, nyatanya kesiapan untuk mengimplementasikan konsep dan makna dari kedua kata tersebut masih membutuhkan waktu (yang mungkin) cukup panjang.

Hal kecil seperti pembagian minuman kemasan dalam keadaan ruang gelap untuk anak-anak Tuli menjadi gambaran yang cukup kuat bagaimana kesiapan menghadapi teman-teman disabilitas. Diskusi-interaksi yang tetap dilaku-lanjutkan, walaupun tanpa kehadiran penerjemah, juga menjadi cerminan nyata bagaimana logika yang masih diamini hingga saat ini.







Comments

  1. Bermanfaat banget kk tulisannya. Saya tau blog kk, dari tulisan kk di Remotivi, izin share ke Komunitas Tuli di Riau ya kk. 💟

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts