Ke Mana Kata-Kata Pergi?







Gundah gulana, tunggang-langgang, pongah, jemawa merupakan beberapa kata (atau istilah, tetapi seterusnya akan disebut sebagai “kata” saja) yang populer pada masanya. Kira-kira, mengapa ada kelompok kata yang mulai “ditinggalkan” dan ada kata yang “digemari”?

Awalnya, ada surel langgan dari Brain Pickings tentang buku The Lost Words yang membahas tentang hilangnya kata-kata yang berhubungan dengan alam. Buku tersebut merupakan respon dari kejadian pada 2015 lalu ketika Oxford Children's Dictionary menghapus sekitar 50 kata yang berhubungan dengan alam. Surel itu tepat sekali datangnya karena memang beberapa waktu belakangan ini sedang merasa "kehilangan" kata-kata. Beberapa kali mencoba menulis, tetapi cukup sulit menuangkannya karena perbendaharaan kata bahasa Indonesia yang dimiliki serasa kabur. Gantinya malah kata-kata asing (dalam hal ini dari bahasa Inggris) yang nyalip pikiran.

Karena itu, kemudian ada rasa penasaran: kenapa ya ada kata-kata yang mulai terlupakan alias sudah jarang digunakan dan ditemui lagi?


Apabila memandangnya dari sisi linguistik, situasi seperti ini sebenarnya biasa terjadi. Sebab, masing-masing kelompok usia memiliki fitur atau gaya tuturannya masing-masing (lihat Holmes, hlm. 174). Misalnya, seperti bahasa Prokem yang sempat terkenal pada 90-an dulu. Beberapa kata seperti bokap (Ayah), nyokap (Ibu), dan bokin (istri/pacar) merupakan kata yang dianggap “gaul”. Dengan adanya kata yang dianggap gaul, maka tentu akan ada kata lainnya yang dianggap “kurang gaul”.

Biasanya, kata-kata kurang gaul itu berasal dari generasi sebelumnya atau bahkan kata-kata baku yang ada di dalam kamus. Dari sini, bisa dibilang bahasa gaul merupakan “respon balasan” terhadap standarisasi bahasa yang dilakukan. Walaupun demikian, bahasa gaul ini biasanya tidak bertahan begitu lama karena setiap generasi akan melahirkan fitur dan gayanya tersendiri.
Perlu disinggung juga bahwa “pencipta” bahasa gaul adalah generasi muda. Salah satu alasan kuat bahasa gaul ini tercipta adalah adanya keinginan untuk menegaskan identitas kelompok tersebut sebagai generasi muda (the youth) (lihat juga Wardaugh, 203--206 dan Holmes, 174--179). Oleh sebab itu, ketika individu menggunakan kata gaul yang saat ini sedang tren, mungkin individu tersebut ingin masuk dalam kategori “kelompok muda”.

Nah, karena bahasa gaul akan berbeda pada setiap generasinya, tentu akan ada pergantian kata gaul yang cukup cepat, alias akan ada banyak kata gaul baru yang menjadi lebih populer dari kata sebelumnya. Jadi, pertanyaan “mengapa ada kata yang populer dan ada kata yang mulai ditinggalkan?” dapat terjawab secara masuk akal. Namun, apa jadinya jika kata yang lebih populer daripada yang lain itu juga sama-sama berasal dari bahasa standar?

Misalnya saja kata galau dan gundah. Kedua kata tersebut memiliki nuansa makna yang mirip, tetapi (tentu saja) saat ini galau lebih populer daripada gundah. Mungkin bisa dikatakan hampir tidak ada yang menggunakan kata gundah dalam penggunaan sehari-hari. Entri galau sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang artinya kata ini termasuk dalam kategori “bahasa standar”.

Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah adanya sentuh bahasa (contact language) (lihat Sankoff, 2001).

Sentuh bahasa, pada umumnya, terjadi ketika dua kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa berbeda saling berinteraksi atau bersentuhan (Mesthrie, hlm. 242) sehingga terdapat pengaruh eksternal terhadap bahasa tersebut. Dari sini kemudian terjadilah peminjaman (borrowing) dari bahasa satu ke bahasa lainnya. Misalnya saja seperti kata netizen yang awalnya dipinjam bahasa Indonesia dari bahasa Inggris. Kemudian, setelah terjadi peminjaman, kata tersebut akan diserap sepenuhnya ke dalam bahasa tersebut. Dalam hal ini, bahasa Indonesia telah menjadikan netizen sebagai kata bahasa Indonesia, juga dengan padanannya warganet. Dari sini, bahasa Indonesia memiliki kata baru yang sebelumnya tidak ada dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.

Intinya?

Kata baru akan *selalu* masuk dalam perbendaharaan sebuah bahasa sehingga wajar saja jika terdapat kata yang “ditinggalkan”. Sebab, sesuatu yang baru tentu akan lebih menarik daripada sesuatu yang sudah lama, kan?

Ada hal menarik lain yang ditemukan ketika mengunjungi laman KBBI Daring untuk mencari beberapa kata, seperti jemawa dan gundah. Kedua kata tersebut diberi label "kl" yang merupakan singkatan dari klasik. Artinya, kedua kata tersebut merupakan kosakata lama (jadul) yang "digunakan dalam kesusastraan Melayu Klasik". Dari situasi ini, bisa diartikan pemegang kekuasaan-lah yang berhak mengatur dan memberikan label tersebut. Sebab, tidak ada uraian jelas tentang alasan mengapa satu kata diberi label "kl" dan kata lainnya tidak. Jadi, bila pemegang kekuasaan memiliki agenda tertentu, bisa saja mereka menandai suatu kata sebagai kata yang "tua" dan "kuno" sehingga kata tersebut akan memiliki kesan yang kurang baik dan pada akhirnya kurang disukai untuk digunakan. Jika sudah begini, arah pembicaraan akan menuju pada pembahasan bahasa dan kekuasaan (language and power) (lihat FaircloughHolmes, hlm. 389 -- 398).

Belum lagi membicarakan tentang bahasa dan media (yang juga masih masuk dalam pembahasan bahasa dan kekuasaan), terutama media sosial. Tidak perlu dipertegas lagi bagaimana saat ini media sosial menjadi bagian besar dalam kehidupan sehari-hari. Memang pada kenyataannya (dengan era media sosial dan internet) saat ini "more people write more than ever before". Namun, "menulis" di sini bukan diperlakukan seperti ketika kita menulis tugas kampus ataupun dalam artikel di berita. Menulis dilihat sebagai sesuatu yang visual sehingga pengguna dapat memodifikasi secara kreatif tanpa perlu terlalu mengkhawatirkan "aturan" yang mengikat (Deumert, hlm. 566).

Situasi itu memang terjadi saat ini. Misalnya, ketika menuliskan singkatan yang diambil dari bahasa Inggris, OTW yang merupakan singkatan dari on the way (dalam perjalanan). Beberapa menuliskannya dengan "otewe", mengikuti cara pengucapan masing-masing huruf [te] dan [we]. Bisa dibilang, tulisan yang berupa teks itu diperlakukan sebagai hal visual.

Lebih lanjut, saat ini memang "audio and video are unstoppable.” Dapat dilihat bagimana berbagai social media platform, seperti YouTube, Instagram, dan podcasts platform menjamur di mana-mana. Mungkin ini bisa mengindikasikan bahwa pengguna tidak lagi terlalu memerhatikan kata-kata yang digunakan, melainkan lebih fokus pada bagaimana bentuk visual dan bunyinya saja.

Mungkin situasi ini dapat disamakan dengan fashion trend yang selalu berganti-ganti setiap musimnya (atau bahkan setiap harinya?). Bahkan, untuk bisa menangkap tren yang sedang berlangsung diselenggarakan fashion week di mana-mana. Apa ini artinya bahasa juga perlu memiliki "Language Trend Week"?

Terlepas dari itu semua, memang sih situasi seperti ini wajar terjadi karena bahasa merupakan sesuatu yang dinamis. Artinya, bahasa akan selalu bergerak dan berubah. Walaupun begitu, situasi seperti ini tetap patut mendapat sorotan, kan?

Comments

Post a Comment

Popular Posts