"From Bach to Zappa": Cat Tembok Jadi Terkelupas karena Tatapanku




“Ini bukan konser. Hanya sebuah perayaan untuk merayakan persahabatan dalam bermusik.”
Begitu kira-kira pernyataan dari salah satu anggota Musicians’Multi-Focus Ensemble (MME). Malam itu akhirnya saya kembali melihat pertunjukan ensemble setelah sekian lama berlibur.


Ketika scrolling linimasa Instagram waktu itu, saya melihat unggahan dari CushCush Gallery (CCG) bertuliskan “From Bach to Zappa”. Melihat unggahan tersebut, ada bagian dari dalam diri saya yang tergelitik, sebab sudah terlalu lama sepertinya saya tidak melihat tulisan “Bach”. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk datang ke acara tersebut.

Acara malam itu juga berfungsi sebagai jembatan pengenalan terhadap musik “Barat” kepada masyarakat Bali, khususnya Denpasar. Hal ini tergambar dengan jelas dalam caption yang menyertai unggahan di Instagram.

Acara ini berbeda. Disini [sic!] tidak ada unsur formalitas jadi kamu dapat memakai pakaian sehari-hari di rumah atau memakai sandal jepit.

Pernyataan tersebut menekankan bahwa acara tersebut sama sekali bukan acara formal dan para pengunjung bisa menggunakan pakaian senyamannya, bahkan seperti disarankan untuk mengenakan sandal jepit.

Ya, memang biasanya para penonton “musik Barat” mengenakan pakaian “formal” yang rapi, untuk menghadiri pertunjukan. Selama pertunjukan pun, biasanya ada aturan-aturan yang perlu diikuti.  

Malam itu, saya pun mengikuti “saran” dalam caption itu dengan mengenakan sandal jepit.

Bagitu masuk CCG, saya langsung diserahkan kertas yang berisi program pada malam itu. Suasana cukup ramai dan padat. Terdapat beberapa orang yang masih berdiri-diri dan ada juga yang sudah duduk nyaman di tempat duduk yang sudah disediakan. Tidak terlalu banyak bangku yang disediakan, sebagai gantinya ada tikar yang digelar. Saya melihat set up pada pertunjukan malam itu dan saya melihat ada lima bangku dan lima stand book berjajar. Saya menjadi menebak-nebak, konsep apa yang akan dibawakan nantinya?

Secara keseluruhan, “From Bach to Zappa” memberikan pengalaman pertunjukan ansambel yang berbeda. MME benar-benar melaksanakan konsep ansambel dengan apik, yaitu sekelompok musisi/artist yang bermain bersama dalam satu grup.

Walaupun malam itu menjadi restial pertamanya, bukan berarti MME hanya memberikan pengalaman yang biasa-biasa saja. Karya modern pamungkas dalam pertunjukan malam itu adalah kolaborasi yang dilakukan antara MME dan satu penari kontemporer. 


"Cat tembok jadi terkelupas karena tatapanku,"

Begitu salah satu lirik yang dibawakan oleh penari kontemporer itu. Baru saja karya ini akan dimainkan, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah belakang. Ya, cara berbeda untuk memulai satu pertunjukan yang diikuti label ensemble. Musik, suasana, dan gerakan serta lirik yang membingkai, bersatu menjadi kesatuan bangun yang membuat saya perlu menajamkan pendengaran saya lebih dari biasanya; sebab saya ingin mendengar bagaimana lirik-lirik dan musik yang dimainkan bisa saling mengikat. 

Ada juga kolaborasi antara biola dan teknik looping yang menghadirkan suara berlapis, seperti sedang dimainkan oleh beberapa orang. Looping mungkin masih menjadi hal yang baru, terutama bagi saya karena saya tidak melihat begitu banyak perpaduan looping dan biola. Terutama (lagi) karena nada-nada yang dipilih masih memiliki nuansa musik klasik. 

Tentu tidak ketinggalan ada pula musik klasik yang dimainkan pada malam itu. Ketika karya klasik ini dimainkan, telinga dan otak saya (yang sudah terlalu lama diam) mulai bekerja: siapa yang saat ini sedang menjadi melodi, siapa yang menjadi pengiring, dan seterusnya. 

Yang pasti, malam itu menjadi penanda penting karena format bermusik ansambel sudah meninggalkan jejaknya di Denpasar. Juga menjadi pertanda penting bagi saya, agar tetap berada dalam ruang bermusik ini.

Comments

Popular Posts