Rumit dan Kompleks: Masalah Kesehatan Mental pada Individu Tuli



Kesehatan mental perlu dijaga dan diperhatikan, sama halnya seperti kesehatan fisik. Tapi, hal itu sama sekali nggak mudah. Bahkan sebagai individu non-disabel dengan segala privilege dan ketersediaan akses, merawat kesehatan mental masih menjadi hal yang menantang. Pernahkah terpikirkan bagaimana teman-teman disabilitas, dalam hal ini Tuli, menghadapi situasi ini?

Disabilitas, Tuli, dan Kesehatan Mental
Pandangan bahwa disabilitas memiliki kondisi kesehatan fisik dan/atau mental yang menghambat kehidupannya bisa dibilang pandangan agak kuno, ya. Penekanannya saat ini nggak lagi fokus pada individunya, melainkan bagaimana keadaan lingkungan dan sosial sekitarnya: apakah akses terhadap kebutuhan disabilitas sudah terpenuhi atau belum (lihat situs WHO, UN). 

Salah satu contoh nyata dan mendesak adalah ketika situasi pandemi dua tahun lalu. Begitu cepatnya informasi perlu disebar dan dibagikan, tapi, komunitas Tuli hampir selalu tertinggal informasi karena konferensi pers, yang diadakan hampir setiap hari kala itu, tidak menyediakan juru bahasa Isyarat (JBI). Ketidaktersediaan JBI bukan masalah baru. Tapi, dampaknya seperti baru "terdengar" ketika pandemi kemarin. Situasi ini adalah contoh nyata dari isolasi sosial (dari cakupan lebih luas). 

Isolasi sosial bisa berujung pada masalah kesehatan mental, loh (Pertz, et.al., 2018; Shukla, et.al., 2020). Secara umum, memang disabilitas (dalam hal ini Tuli) berisiko lebih tinggi terhadap masalah kesehatan mental. Ini juga berkaitan dengan ketersediaan akses yang masih minim terhadap fasilitas kesehatan mental. 

Beberapa faktor yang sering muncul pada artikel atau jurnal atas minimnya ketersedian akses bagi Tuli adalah communication and/or language barriers (hambatan komunikasi dan/atau bahasa). Tapi, rasanya ini kurang adil, sebab hambatan ini sepertinya muncul bukan semata-mata karena fasilitasnya belum tersedia, tapi karena ada stigma yang mengakar erat pada Tuli dan ketulian itu sendiri.

Berakar dari Rumah
Salah satu yang memicu hadirnya masalah kesehatan mental, seperti depresi, bisa berasal dari rumah. Ketika komunikasi antara anak tuli dan orang tua (atau pengasuh) tidak lancar, karena tidak saling memahami satu sama lain, maka akan menciptakan stres dan frustrasi. Jika ini terus-terusan terjadi, bisa berujung pada depresi (Kushalnagar, 2016).  

Ngerinya, komunikasi yang tidak lancar ini biasanya tidak diacuhkan. Jika terus-terusan tidak diacuhkan, bisa masuk kategori linguistic neglect (pengabaian linguistik). Artinya? Kebutuhan berbahasa (si anak) untuk berkomunikasi lalai dipenuhi oleh pengasuh (bisa orang tua, atau orang dewasa lainnya yang mengasuh si anak). Dan, beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan erat antara minimnya akses terhadap bahasa dan gejala depresi. (Anak) Tuli dalam hal ini lebih tinggi resikonya. 

Untuk gambarannya, linguistic neglect itu setara dengan penelantaran: kebutuhan dasar si anak tidak (ter)dipenuhi, seperti tentang makanan dan kebersihan. Dan ini termasuk dalam kekerasan (abuse). Sayangnya, belum banyak sumber informasi tentang isu ini dalam konteks Indonesia. 

Akibat dari linguistic neglect ini nggak main-main: deprivasi bahasa. Sebuah gangguan kesehatan mental yang bisa mengganggu perkembangan neurologi, yang nantinya nggak hanya berakibat pada gangguan kognitif, tapi juga aspek di kehidupan lainnya seperti pendidikan dan skill lainnya. Konsekuensi ini akan dirasakan dalam jangka panjang, atau dengan kata lain sepanjang masa hidup si anak Tuli (Hall, et.al., 2017).

Rumit, Serius, dan Harus Diperhatikan Secepatnya
Jika individu Tuli mengalami masalah kesehatan mental, mungkin akarnya jauh lebih dalam dan rumit daripada yang terlihat dari luar. Sebab, individu Tuli rentan terhadap linguistic neglect yang bisa berakibat pada deprivasi bahasa.

Deprivasi bahasa tidak hanya memengaruhi pada kemampuan kebahasaan seorang individu, tapi juga berdampak pada perkembangan kognitifnya secara umum. Maka, masalah kesehatan atau psikologis lainnya semakin tinggi resikonya. Belum lagi mengenai isolasi sosial dan keterbasan akses bagi disabilitas sebagai isu yang terus-terusan (masih) harus dihadapi. 

Ini semakin diperparah dengan kurangnya kesadaran dari para profesional itu sendiri (dokter, terapis, dan lainnya) terhadap Tuli dan ketulian. Juga stigma yang masih juga  melekat pada Tuli di masyarakat luas.

Jika teman-teman punya informasi masalah kesehatan mental yang inklusif, tolong kasih tahu, ya. 

Dan jika teman-teman disabilitas merasa memiliki masalah kesehatan mental, jangan enggan untuk meminta bantuan. Kamu nggak sendirian.



Video yang membicarakan kesehatan mental pada Tuli

Mental Health and Deaf People (dalam bahasa Inggris lisan dengan subtitle bahasa Inggris)

Guidance to Improve Deaf People's Access to Mental Health Service (dalam British Sign Language [BSL] dan subtitle bahasa Inggris)

Comments

Popular Posts