Kantin



Apakah ini tentang kesendirian dan kesepian?

Entah kenapa, rasanya suara yang dikeluarkan belum juga sesuai dengan yang diinginkan. Alhasil, selama ini hanya bisa dikubur dalam-dalam, hingga menumbuhkan tunas-tunas kecemasan. Tapi, setelah melewati goa dan tanjakan berkerikil, akhirnya diputuskan juga: “Tulis apa sajalah, yang penting tunas ini berkembang, berbuah, dan tidak lagi mati layu dimakan waktu”.

Makan di kantin kini berbeda rasanya dengan 10 atau 12 tahun lalu; bergerombol, beriringan, berbicara sambil berjalan, mengira-ngira kedai mana yang akan dituju. Kini, gerombolan tidak lagi diiringi banyak kaki, tetapi hanya dalam hati dan diri sendiri. Selebihnya, biar musik yang terputar di telinga– hampir 12 jam per hari – menambah riuh percakapan dalam diri.

Berjalan memasuki kantin, terbata-bata, mencoba membaca ruang yang baru ini. Makanan apa yang cocok? Camilan apa yang gurih? Nampan yang dibawa terasa ringan. Makan, satu piring sendiri, dengan minuman dingin berembun dan juga roti pisang* sebagai penutupnya. Mata jelalatan, memandang jauh ke lampu di atas langit-langit, mengira-ngira: berapa jam lagi bisa pulang? 

Dulu –jika 10 sampai 12 tahun lalu bisa masuk kategori dulu makan di kantin sendirian sering dianggap ganjil. Atau malah sering tidak dianggap, karena mata-mata lain sibuk berkelakar dengan lemparan lelucon teman sebelah. Kini, pemandangan meja-meja yang hanya terisi satu kursi bukannya jarang. Maka dari itu, pemutar musik yang terpampang di telinga juga terus dipasang, agar menyerupai bisingnya ketika makan bergerombolan.

Obrolan meja sebelah terdengar sampai ke telinga, membicarakan sesuatu yang tidak dapat dimengerti konteksnya. Kemudian, dengan ramainya obrolan meja sebelah, meja ini yang kursinya hanya terisi satu, dihampiri sekelebatan pertanyaan. Apakah seharusnya saya merasa kesepian? Apakah kesepian merupakan sebuah tanda inferioritas? Apakah sendirian selalu berarti kesepian? Apa arti sebenarnya dari 'sendirian'.  

Dengan banyaknya informasi-informasi sekejap yang berberedar di media sosial, terutama, berat rasanya untuk membiarkan diri merasakan perasaan yang ada, tanpa dihantui pertanyaan-pertanyaan validasi seperti di atas. Yang didapat justru semakin bingung: ini sedih atau biasa saja? Atau marah, atau biasa saja? Waktu cukup kencang berlari hingga rasanya sia-sia jika hanya berkubang dalam genangan ketidakpastian. 

Ah, tulisan ini hampir terlalu banyak cabangnya, hingga tidak lagi bisa dikenali batangnya. Maka dari itu, keputusan bulat sudah diambil untuk menyudahinya saja, dan melanjutkan di kemudian hari.

*Alih-alih makan pisang goreng, malah menutupnya dengan roti pisang. Dari sini bisa ditangkap, adanya perbedaan tanah yang diinjak. Sebab, gorengan bukan lagi satu camilan yang akrab ditemui, melainkan per-roti-an yang mengisi jam makan siang. 

Comments

Popular Posts