Teror Lain Hari



Belakangan hidup berjalan cukup tidak biasa: Rutinitas kembali tersusun, rencana-rencana mulai menumpuk, dan rasanya baru saja mulai saling mengenal orang-orang di sekitar.

Begitu riuh kata-kata ingin diutarakan. Ke mana keberanian melirih?

Tidak ada yang secara spesifik berbeda atau spesial dari fase-fase sebelumnya; masih juga bermain biola, masih juga senang menulis, masih juga senang menghabiskan waktu sendirian. Waktu berjalan sambil lalu, tidak terasa sudah tiga tahun menghabiskan waktu jauh dari kota kelahiran. Jauh secara fisik, dan juga secara emosional. Perlu rasanya sekali-waktu mengangkat pembicaraan ini, sebab saat ini /so-sai-ti/ (society) sepertinya hanya menghargai wujud akhir dari suatu perjalanan.

Senyap dalam keramaian, pertanyaan banyak menyergap: ke mana akan melangkah?

Keputusan untuk mengambil jarak terhadap segala yang dirasa nyaman, diambil dengan kurun cepat dan mantap. Tapi, wujud hasil dari itu semua tidak tercipta dengan cepat walau sudah tiga tahun berjarak; tesis, pekerjaan tetap, you name it. Itu memang tidak bisa dimungkiri. Lantas, apakah betul-betul tidak ada yang terjadi dalam perjalanan tiga tahun itu?

Angin dan luka. Apakah salah satunya dinilai lebih berharga karena kasat oleh mata?

Bukan perkara mudah menjabarkan apa saja yang sudah dilakukan dan dicapai selama tiga tahun belakangan. Sebab, kebanyakan dari itu tidak berwujud, tidak dapat disentuh, dan dirasa oleh tubuh. Akan banyak kata "Misalnya" setelah ini, demi menjelaskan apa-apa yang terjadi tiga tahun belakangan. Jangan lupa juga siapkan kekuatan imaji.

Misalnya, kemegahan atas kesendirian. Kuasa terhadap berbagai hal yang terjadi dalam hidup, baru bisa dirasakan ketika berjarak dari rumah. Kuasa itu bukannya tidak hadir ketika masih dekat dengan rumah. Hanya saja, memiliki ruang yang benar-benar dikuasai sendirian menciptakan sensasi yang berbeda ketika berada di dalam kenyamanan rumah. Misal lainnya, belajar mengatasi luka kesepian. Sebab, luka itu tidak berdarah merah seperti luka ketika tangan terluka karena pisau. Maka, cara mengatasinya pun berbeda. Sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya.

Luka kesepian, megah kesendirian, deru pertanyaan. Akankah kita sampai pada tujuan?


Sebab, /so-sai-ti/ menuntut wujud atas hampir segala yang sedang dikerjakan, ada hal baru yang belakangan sering mampir: teror.


Teror ada di mana-mana, bahkan ketika baru melangkah keluar indekos; 
Mau ke mana? 
Ke arah mana? 
Melakukan apa? 
Dengan siapa? 
Hasilnya apa?


Nggak sengaja beberapa waktu lalu membaca ulang Begitu ya Begitu Tapi Mbok Jangan Begitu dari Danarto dan terpaku pada satu tulisan dengan judul "Teror". Di tulisan itu, Danarto menjabarkan bagaimana perilaku keseharian pun sudah masuk dalam ranah teror, walaupun bukan diciptakan oleh suatu golongan. Berbagai tindakan dimintai "pertanggungjabawannya" bahkan oleh orang-orang yang tidak seharusnya mendapatkan itu. 

Tentu saja jika teror terus datang dengan dosis yang tidak seimbang, menoleh pun akan menyebabkan kecemasan. Maka, demi menekan rasa teror berlebihan, apa yang bisa dilakukan?


Biar saja. Toh, mereka yang meneror juga kena teror dengan keberadaanku ini.




Comments

Popular Posts