SENDIRIAN.


SENDIRIAN. Menjadi satu kata yang bisa dibilang agak kontroversial. Sebab, pandangan orang-orang (secara harfiah dan metaforis) mungkin akan berubah ketika kamu menjawab suatu pertanyaan dengan, "Sendirian."

Makan sendirian, pergi menonton film di bioskop sendirian, nongkrong di kafe sendirian, merupakan beberapa kegiatan yang tidak mustahil untuk dilakukan. Tapi, sepertinya kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara seorang diri ini masih agak mustahil untuk diterima sepenuhnya dalam societySebabnya, sendirian sering dilekatkan dengan rasa kasihan kepada seseorang yang melakukan suatu kegiatan seorang diri. Dan, kasihan saat ini juga sudah memiliki nuansa yang cukup negatif. Akibatnya, sendirian memiliki cap yang cukup negatif karena dianggap sebagai penggambaran isolasi dan keterasingan pada seseorang. 

Kenyataannya, tidak demikian. 

Keputusan untuk being alone merupakan keputusan pribadi yang diambil secara disadari, bukan situasi diluar kontrol individu. Sendirian, atau dalam bahasa Inggris disebut being alone, merupakan pengalaman objektif. Artinya, setiap individu memiliki reaksi/respon yang berbeda terhadap hal ini. Mungkin, ada yang memang memilih untuk sendiri(an), ada pula yang menganggap sendirian merupakan keputusan yang "egois". Respon terhadap hal ini memang bervariasi, ini sedikit banyak dipengaruhi pula oleh kebudayaan setempat. 


Collectivism dan individualism merupakan dimensi dalam shared values yang ada pada kebudayaan secara umumBisa dibilang, kolektivisme merupakan kebudayaan yang menjunjung kebersamaan. Sebaliknya, individualisme merupakan kebudayaan yang menjunjung pencapaian pribadi dan nilai-nilai yang ada di dalam individu. Rasanya cukup jelas, sih, bahwa Indonesia masuk dalam kategori collectivism; berbagai hal yang dilakukan individu akan bermuara untuk kelompok. Mungkin, sebab itu ketika individu terlihat sendirian, atau dengan disadari memutuskan untuk sendirian, akan terlihat janggal dan aneh. 

Sendirian sendiri sudah dipandang sebagai situasi yang menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi bila kata tersebut bersanding dengan kata perempuan. 

Kebanyakan, masih menganggap bahwa perempuan perlu menjadi peneman seseorang. Dan apabila tidak terlihat seperti itu, maka akan terlihat "salah" dan aneh. Misalnya, ketika perempuan pergi menonton bioskop sendirian atau pergi ke kafe sendirian, maka akan dianggap kesepian dan tidak ada yang mau berteman dengannya. Bahkan, bisa juga dianggap something "wrong" with her. 

Perempuan terlihat melakukan kegiatan sehari-hari secara sendirian saja rasanya sudah mendapat cap yang menyedihkan. Belum lagi apabila sendirian ini diaplikasikan dalam hal kehidupan secara menyeluruh, alias melajang.

Beberapa waktu lalu, tanpa sengaja muncul video rekomendasi di laman YouTube saya. Video tersebut dari akun Asian Boss yang membahas tentang umur ideal perempuan untuk menikah di beberapa negara: Jepang, Cina, dan Korea. Bukan jawaban tentang umur yang mencengangkan, tetapi bagaimana pandangan, persepsi, serta tekanan dari lingkungan sekitar perempuan sudah melewati "umur ideal" untuk menikah yang membuat tercengang.

Salah satu partisipan (perempuan Jepang berumur 30 tahun dan belum menikah) dalam video tersebut mengatakan, dalam lingkungan pekerjaannya ia sering diberikan pekerjaan lebih dibandingkan dengan para perempuan pekerja lain yang sudah menikah. Dengan kata lain, persepsi terhadap perempuan single adalah mereka memiliki banyak waktu luang. Apakah single dapat menjustifikasi bahwa ia memiliki banyak waktu luang? Lebih lanjut, anggapan terhadap perempuan yang masih lajang biasanya juga karena alasan "keasyikan" bekerja atau dengan kata lain hanya memikirkan karier saja. Belum lagi, gosip-gosip ketika, misalnya, perempuan lajang ini meninggalkan tempat kerja lebih cepat; maka akan dipertanyakan, "Untuk apa ia pulang cepat? Ia 'kan belum berkeluarga?"





Pandangan-pandangan terhadap kesendirian, ditambah lagi bila bersanding dengan perempuan, dibuat seolah begitu salah dan tidak berterima. Kesendirian memiliki stigma yang begitu menyeramkan sehingga ketika perempuan, yang "kodrat"nya sebagai peneman, menghabiskan waktu sendirian akan diperlakukan sebagai "penyimpangan". Tapi, beberapa temuan mengatakan sebaliknya. 


"Data confirms more women have realized there are far worse things than dying alone, which is bad news for the patriarchy."

Sebuah penelitian bahkan menyatakan bahwa perempuan yang tidak menikah (belum pernah menikah ataupun telah bercerai) cenderung memiliki situasi kesehatan yang lebih baik daripada perempuan yang berada dalam status pernikahan. Dalam artikel lainnya juga menyatakan bahwa perempuan, bertentangan dengan kepercayaan umum, sebenarnya lebih senang hidup sendiri. 

Kesendirian memang sebenarnya bukan sesuatu yang salah. Hanya saja dalam dunia yang sepertinya serba "sosial" ini (karena adanya media sosial), kesendirian menjadi momok bagi banyak orang, terutama perempuan.

Masih juga mau menghakimi orang lain atas pilihannya untuk menghabiskan waktu sendirian? 

Hehe.

Comments

Popular Posts