Tangan dan Cerita Lainnya yang Mungkin Jarang Terdengar

Tentu saja tangan menjadi bagian tubuh penting. Menulis, mandi, makan, hampir semua hal dilakukan menggunakan tangan. Namun, tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa tangan ini akan menjadi bagian tubuh krusial karena digunakan untuk menyampaikan informasi kepada 
kelompok tertentu.

Kurang lebih, selama setahun ini cukup aktif dalam kelompok relawan penerjemah bahasa Isyarat (JBI) di Denpasar. Sebenarnya, seperti unggahan beberapa waktu lalu tentang JBI, masih sulit dipercaya juga bahwa saat ini akan banyak terjun di dalamnya.

Sekitar awal bulan ini, jadwal menerjemahkan cukup padat: seminggu penuh!

Bagi saya yang bukan penerjemah profesional (bukan pekerjaan utama), hal ini tentu saja sangat menguras tenaga, baik fisik maupun pikiran. Saya menjadi tahu bagaimana otak ini tidak bisa diajak bekerja optimal bila sudah berada dalam fase sangat lelah. 

Ada satu waktu ketika sedang menerjemahkan (dalam keadaan lelah), segala tuturan yang dikatakan pembicara sama sekali tidak terdengar; melainkan hanya suara "bbzzzzZZzaaAAzzz" saja yang terdengar. Sebagaimana pun saya berusaha untuk kembali fokus, sebegitunya juga tubuh dan otak tidak bisa kembali berfungsi. 

Situasi juga sekaligus menggambarkan betapa pentingnya jeda istirahat bagi penerjemah. Yang artinya (pula), dibutuhkan setidaknya dua penerjemah dalam satu waktu acara. Jika penerjemah sudah terlalu kelelahan dan tidak sanggup lagi bertugas, maka informasi tidak bisa disampaikan. Padahal, itulah fungsi penting adanya penerjemah. 

Selain faktor kelelahan, kecepatan bicara juga kadang menjadi tantangan tersendiri. Belum selesai menerjemahkan bagian pertama, pembicara sudah membicarakan hal lainnya. Penggunaan bahasa Inggris oleh pembicara bule juga menjadi tantangan tersendiri. Tetap kagok rasanya untun menerjemahkannya ke bahasa Isyarat.

Selain aspek-aspek non-fisik seperti di atas (alias pikiran), interpreting juga memerlukan stamina fisik yang yahud. 

Bayangkan harus menggerak-gerakkan tangan selama 30 menit tanpa berhenti. Tidak jarang sendi-sendi dari bagian pergelangan tangan hingga lengan terasa ngilu. Ditambah lagi, penerjemahan sering dilakukan dengan berdiri alias nggak duduk. Jika sudah begini, ngilu tidak hanya terasa di bagian tangan, tetapi hampir di seluruh bagian tubuh. Oiya, seperti yang tadi sudah disebutkan, tempo berbicara pembicara cukup cepat sehingga gerakan tangan mau tidak mau juga harus menyamai tempo pembicara. Seperti tidak ada kesempatan "bernapas" untuk tangan ini. 


Mungkin hal selanjutnya ini tidak banyak dibicaraka orang, tetapi menurut saya cukup patut disinggung: strategi penggunaan atasan berwarna gelap! 


Mengenakan atasan berwarna gelap memang salah satu aturan ketika menjadi penerjemah bahasa Isyarat. Sebab, teman Tuli mengandalkan kemampuan visualnya sehingga atasan berwarna gelap ini bertugas sebagai "latar polos" agar mereka bisa fokus ke tangan penerjemah. 


Bayangkan jika setiap hari ada jadwal menerjemahkan? Tentu saja perlu ada persediaan atasan yang mencukupi. Walaupun sudah memiliki banyak koleksi atasan berwarna gelap, rasanya tetap diperlukan strategi tertentu untuk bisa mengatur pemakaiannya. Sebab, mungkin saja akan ada situasi tidak terduga yang terjadi. Misalnya, dalam satu hari diperlukan dua atasan berwarna gelap karena atasan pertama sudah terlalu basah keringat atau bahkan bisa saja kehujanan. Atau, di kesempatan lain, atasan berwarna gelap tersebut diperlukan sebagai aturan berbusana di acara tertentu. 


Situasi selanjutnya ini juga mungkin jarang disinggung orang, yaitu tentang posisi penerjemah yang berada di *paling* depan. 

Biasanya, posisi duduk teman Tuli, pada acara seperti seminar dan sejenisnya, sengaja ditempatkan di barisan depan. Strategi ini biasanya dilakukan karena mempertimbangkan posisi penerjemah. Tidak mungkin, kan, penerjemah berdiri di tengah-tengah penonton lainnya? Jika sudah begini, artinya penerjemah pun ikut berada di posisi (paling) depan. Ini juga bisa berarti penerjemah berada di atas panggung bersama pembicara acara!


Nah, bisa bayangkan bagaimana rasanya ketika berdiri di atas panggung dan seluruh mata tertuju pada kita?


Perlu saya tekankan lagi, bagi saya yang bukan penerjemah profesional, rasa berdebar itu masih sering menghampiri.


Hal lucu lainnya ketika menerjemahkan adalah ketika pembicara sengaja menunggu, mengucap kata demi kata untuk diterjemahkan. Mungkin, pembicara terlalu sadar atas kehadiran penerjemah sehingga merasa perlu "menyesuaikan".

Misalnya, pembicara mengatakan, "Hari ini ..." dan kemudian berhenti dan menunggu penerjemah untuk menerjemahkan. Lalu, melanjutkan pembicaraan, "Hari terakhir ..." dan kemudian berhenti lagi dan melanjutkan, "Pelatihan ...". Apakah dengan seperti itu informasi akan tergambar jelas?

Tentu dengan cara seperti itu justru akan menimbulkan kebingungan. Sebab, hanya si pembicara yang tahu apa yang akan dia katakan sehingga penerjemah tidak bisa menerka, melainkan hanya bisa menerjemahkan apa yang pembicara katakan. Apabila sudah begini, informasi bukannya terbuka lancar, malah tersendat. 


Cerita-cerita ini mungkin tidak akan bisa mewakili semua cerita yang dimiliki masing-masing penerjemah. Namun, cerita kecil ini tetap perlu diungkapkan untuk membekukan waktu yang terkadang berlalu begitu cepat.

Comments

Popular Posts