Denpasar dan Jakarta: Dua Kota Berbagi Rasa dan Cerita




Antara Denpasar dan Jakarta, dua kota yang menampung berbagai cerita pada setiap rasa yang dialami.

Beberapa waktu lalu, sudah sempat menulis tentang Denpasar. Tulisan lalu itu lebih ke arah merayakan satu tahun kebersamaan di Kota Denpasar. Benar-benar nggak terasa. Tulisan kali ini masih juga menyinggung tentang Denpasar, namun dengan tambahan rasa lainnya: rasa Jakarta.

Bukan maksud untuk membanding-bandingkan antara kedua kota ini. Sebab, tidak ada guna juga membandingkannya secara (kalau kata anak jaman sekarang) apple to apple. Hanya ingin bercerita tentang rasa yang dialami di sini.

Biasanya, jika berbicara tentang rasa, maka yang ditanya pasti tentang, "Senang di sana?" Padahal, rasa bukan saja berisi senang atau tidak senang.

Aman.

Ya, rasa ini mungkin jarang dibicarakan, mungkin dianggap kurang mellow. Tapi justru hal inilah yang saya rasakan paling dominan di sini.



Bukan suatu yang aneh jika kalian melihat mobil, dengan mesin menyala dan pintu terbuka serta (tentu saja) kunci yang menggantung, di depan rumah dan si pemilik rumah entah berada di mana. Biasanya, situasi ini terjadi ketika si pemilik bermaksud memanaskan mobilnya, tapi mungkin ada barang yang ketinggalan sehingga perlu kembali masuk ke rumah.

Bayangkan jika situasi itu terjadi di Jakarta?

Tak perlu membicarakan mobil. Kadang, sandal pun bisa hilang jika diletakkan di luar kamar atau di teras rumah. Bisa terbayang seberapa cepat rasa tidak aman itu menjalar, kan.

Di sini, "perlu masuk ke rumah" benar-benar berarti si pemilik berada di dalam rumah bahkan hingga tidak lagi kelihatan wujudnya dari pagar. Jika hal ini terjadi di Jakarta, bukan tidak mungkin mobilnya sudah tidak lagi berada di depan pagar.

Suatu waktu, saya mengobrol singkat dengan bapak penjual bakso. Ia mengatakan, "Di sini juga rasanya jualan lebih aman," katanya. Ia bercerita katanya ia punya teman yang jualan di Jakarta, "Seperti was-was meninggalkan barang dagangan di kios." Ditambah lagi, ia melanjutkan ceritanya, "Ada yang malak terus." Bagaimana rasa aman itu bisa terbangun jika sejenak saja meninggalkan barang di luar area kita, barang itu sudah hilang. Ditambah lagi tentang hal-hal malak ini.

Entah ini lucu atau aneh, namun kesadaran bahwa ternyata saya kurang merasakan rasa aman (ketika di Jakarta), baru terasa sekarang ketika berada di Denpasar.

Membicarakan tentang aman, rasanya perlu disinggung tentang ojol (ojek online) di sini.

Untungnya, Denpasar menjadi salah satu kota ramah ojol dan bukan yang melarang ojol beredar. Dengan keramahan ini, ternyata para driver ojol pun juga lumayan ramah. Salah satu kebiasaan yang membuat takjub adalah "kembalian seribu".

Bukan kebiasaan yang aneh di sini jika total tagihan Rp4,000 kemudian ketika pelanggan memberikan uang Rp5,000 akan tetap diberikan kembalian Rp1,000. Sebenarnya (dan seharusnya) ini perilaku yang wajar banget karena memang seharusnya dikembalikan sesuai dengan total tagihan. Namun, lagi-lagi kebiasaan yang ada di Jakarta membuat saya takjub melihat kebiasaan di Denpasar ini.




Sebenarnya, bukan masalah jumlah uang yang dikembalikan, tetapi tentang sikap menghargai dan menghormati sesuai dengan yang seharusnya.

Dengan suasana yang terbangun ini, irama kehidupan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Memang seharusnya, kita yang mengatur irama kehidupan dan bukan sebaliknya.


Mungkin bagi beberapa orang (entah berapa orang dan siapa orangnya), hal itu (kebebasan untuk bisa mengatur irama kehidupan) merupakan sebuah kemewahan. Namun, menurut saya ini hanya soal pilihan dan bagaimana mengambil keputusan dalam hidup secara disadari.

Tidak dimungkiri, irama kehidupan yang cukup lambat di Denpasar terkadang (atau bisa disebut sering) membuat arus yang terlalu lembut, bukan arus yang menyerbu seperti layaknya ombak laut. Entah bisa dikatakan sebagai sifat malas atau tidak; sebab mungkin saja kenyamanan karena irama kehidupan yang lambat ini sudah terlalu mendarah daging sehingga tidak lagi bisa dibedakan antara malas dan gaya hidup.

Walaupun begitu, bukan tidak mungkin kita bisa mendapatkan irama yang sesuai, pas, dengan kebutuhan dan kehidupan. Dengan begitu, kita dapat menyaring berbagai hal yang dirasa perlu dan tidak.

Terkadang saya lupa, bukan "Sudah berjalan sampai di mana?" yang penting, tapi "Sudah mulai berjalankah kamu hari ini?" yang lebih penting.


Semoga akan datang lagi hari lain dengan cerita dan rasa yang baru, Denpasar.

Comments

Popular Posts