Bahasa Isyarat: Bukan Sekadar Gerakan Tangan Biasa

https://id.pinterest.com/pin/256212666270808956/

Belakangan ini, topik bahasa beberapa kali menjadi pembicaraan hangat. Tapi, rasanya pembicaraan tentang bahasa di Indonesia belum menyentuh pembicaraan tentang bahasa Isyarat. 

Bahasa isyarat secara jelas dan sederhana adalah bahasa yang digunakan oleh kaum Tuli (yang biasanya juga bisu) untuk berkomunikasi. Sama halnya dengan bahasa Lisan yang orang Dengar gunakan untuk berkomunikasi (merujuk pada bahasa Indonesia yang digunakan), bahasa Isyarat juga berfungsi sebagai alat komunikasi. Namun, keberadaan bahasa Isyarat Indonesia di Indonesia masih seperti bayangan yang tertutup oleh tubuhnya sendiri.

Seperti yang dinyatakan oleh Kridalaksana (2009: 3), bahasa adalah sebuah sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat tertentu untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. 

Dengan menggunakan istilah bahasa, berarti bahasa Isyarat telah memenuhi kriteria dari definisi bahasa yang diberikan oleh Kridalaksana. (Tanpa tendensi apa-apa) Namun, bahasa Isyarat masih lekat dengan stigma bahasa "Tarzan" dan anggapan bahwa bahasa Isyarat tidak memiliki struktur sama sekali.

Pada nyatanya, bahasa Isyarat bukanlah bahasa "Tarzan" yang tidak memiliki struktur dan digunakan suka-suka tanpa ada sistem yang mengatur. Sebaliknya, bahasa Isyarat merupakan bahasa yang juga bersistem dan berstruktur,  sama seperti bahasa Lisan. 

Dengan situasi bahasa di Indonesia, yang mayoritas adalah orang Dengar yang menggunakan bahasa Lisan, maka bahasa Isyarat berada pada posisi minoritas yang berdampak pula pada komunitas Tuli itu sendiri. Dalam situasi tersebut, dapat dikatakan perkembangan dan pertumbuhan bahasa Isyarat tidak sesubur bahasa Lisan. 

Beberapa buku telah menyatakan bahwa bahasa Isyarat merupakan bahasa mandiri yang memiliki sistem dan struktur secara mandiri sama halnya dengan bahasa Lisan. Bayley dan Lucas (2008:83) dalam The Cambridge Handbook of Sociolinguistics menyatakan, 

as sign languages are full fledged autonomous linguistic systems shared by communities of users.

Selain itu, Kendon (2016: 34) dalam The Routledge Handbook of Linguistics menyatakan bahwa hasil penelitian sejak tahun 1960-an, menunjukkan bahwa secara struktur, fungsi, dan semiotik, bahasa Isyarat dapat dibandingkan secara langsung dengan bahasa Lisan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa Isyarat berada pada tingkatan yang sama dengan bahasa Lisan. 


Selain itu, sama halnya dengan kata dalam bahasa Lisan, kata dalam bahasa Isyarat juga terbentuk dari kombinasi beberapa bunyi (Rajen dkk, 2004: 408). Terdapat empat komponen penting untuk dapa menentukan bunyi-bunyi dalam bahasa Isyarat, yaitu 1) the location of the sign in space, 2) the handshape used to make the sign, 3) the type of movement made by the hands, dan 4) the orientation of the palms of the hands (ibid).

Nah, seperti yang dikemukakan Stokoe, salah satu alasan mengapa stigma bahasa "Tarzan" melekat pada bahasa Isyarat adalah communication by a system of gestures is not an exclusively human activity. Yang berarti, cara berkomunikasi dengan menggunakan gestur bisa saja digunakan juga oleh binatang. Inilah yang kemudian membuat status bahasa Isyarat diragukan sebagai bahasa. Hill (2015) juga mengatakan bahwa bahasa Isyarat "ditolak" keberadaannya karena concerning the fundamental nature of sign language and their basic suitability for use by humans. 

Bahasa lebih dari sekadar kata, huruf, dan suara. 

Jadi, bahasa Isyarat bukan sekadar gerakan tangan tanpa struktur, ya, Gengs.


Semoga tulisan ini bisa membuka informasi baru tentang bahasa Isyarat, ya. 
Salam




*Abjad pada gambar di atas merupakan sistem abjad American Sign Language*

Comments

Popular Posts