Bahasa: Harus Begini, Harus Begitu. Masa Iya, Sih?

https://www.arvowear.com/

Menanggapi perbincangan yang terjadi di Twitter beberapa waktu lalu, saya kok rasa-rasanya merasa tergelitik-geli tapi senang. Saya tergelitik-geli dan senang sebab topik pembicaraan ini menimbulkan berbagai pendapat yang pada akhirnya membuat ruang diskusi menjadi lebih lebar.

Akhirnya, bukan topik ekonomi dan/atau hukum saja yang dijadikan topik pembicaraan hangat, tetapi bahasa juga.

Jauh sebelum diskusi hangat yang terjadi di Twitter tersebut, saya juga --kurang-lebih-- merasakan hal yang sama. Saya merasa lebih suka menggunakan kata seperti ini daripada yang lainnya. Saya lebih suka menggunakan penggabungan kata seperti ini daripada yang satunya. Namun, saya tidak bisa melakukan hal itu karena tidak sesuai tata bahasa yang berlaku.

Sementara itu, di satu sisi, saya pun merasa (kadang-kadang) resah dan malu sebab bahasa Indonesia seems not ready untuk menerima berbagai "serangan" dari bahasa serta aspek lainnya. Oleh sebab itu, saya juga pernah merasa "Bagaimana, sih, ini? Berantakan sekali sistem/tata bahasa Indonesia."

Kemudian, hal tersebut membawa saya pada suatu kebimbangan.

Terdapat pernyataan bahwa bahasa itu arbitrer dan juga konvensional, yang berarti bahasa merupakan hasil dari kesepakatan bersama masyarakat pengguna bahasa. Sementara itu, terdapat tata bahasa (peraturan) sehingga pergerakan kita sebagai masyarakat pengguna bahasa "terbatas". Di sisi lain, tata bahasa diperlukan juga untuk menjaga bahasa agar tidak berantakan.

Dari situ, muncul tulisan saya tentang kegelisahan ini. Salah satu pemicu saya menuliskan artikel tersebut adalah penggunaan dimana yang masih sering beredar di mana-mana. Dari tulisan itu, dapat dikatakan bahwa walaupun tata bahasa merupakan hasil dari kesepakatan masyarakat bahasa, namun tata bahasa tetap diperlukan untuk melindungi dan juga melestarikan bahasa.


https://id.pinterest.com/pin/257690409913952571/


Kemudian, saya menulis tulisan lain yang membahas tentang penggunaan bahasa Indonesia oleh food vlogger asal Korea, Hari Jisun. Pada tulisan tersebut, saya menyinggung sedikit (mungkin dasar penulisan tersebut adalah rasa bahasa yang saya miliki, hanya saja saya ingin membuat tulisan yang lebih "valid" sehingga pembahasannya lebih ke arah mikro linguistik) tentang rasa bahasa. Berbeda dengan tulisan saya yang pertama, pada tulisan ini saya sama sekali tidak mengutip teori atau pernyataan dari seorang tokoh. Saya menulis tulisan tersebut hanya mengandalkan rasa bahasa saya.

Yang saya ingin tunjukkan dari penjelasan di atas: ketika membicarakan sesuatu, bisa saja saya menganggap hal satu benar tetapi hal yang lainnya salah, bila dilihat dari sudut pandang tertentu. Misalnya, ketika saya membicarakan fenomena dimana dilihat dari sisi tata bahasa, maka penggunaan dimana salah. Namun, bisa juga saya membicarakan fenomena ini dan saya melihatnya dari sisi bagaimana pengguna bahasa menggunakan bahasanya (the way people use language). Dari deskripsi terhadap suatu fenomena, biasanya digunakan sebagai pertimbangan untuk suatu keputusan atau bahkan bisa juga menjadi dasar bagi teori dan tata bahasa tersebut.

Jadi, tidak ada yang benar atau salah karena tergantung dari sisi mana melihat suatu fenomena yang ada.

Bahasa selalu bergerak, dinamis.

Sangat wajar bila terdapat ketidakseragaman pada penggunaan bahasa dan begitu pula bukan suatu yang aneh bila ditemukan keseragaman pada penggunaannya.



Untuk mendapatkan konteks dan gambaran, coba baca twit dari @okkymadasari dan twit dari @ivanlanin yang menjadi pemicu tulisan ini.

Comments

Popular Posts