Entah Pergi Ke Mana Kata-Kata Itu


Sering aku ingin menulis sebuah cerita panjang yang berujung menjadi novel. Namun, selalu saja kata-kata terhenti hanya membentuk sebuah cerita pendek, bahkan hanya seuntai puisi. Entah pergi ke mana kata-kata itu. Menghilang terbawa arus kebimbangan yang tidak akan pernah pergi.

Aku hanya takut pembaca akan bosan membaca tulisanku yang hanya berupa kumpulan-kumpulan kalimat sederhana dan pendek. Tidakkah kamu bosan? Aku pun bosan dengan kata-kata yang hanya berputar-putar di dalam kepalaku tanpa mampu keluar dengan suara yang lantang.

Kebimbangan yang tidak pernah pergi ini datang dari sebuah kisah yang kulewati hari itu. Aku memang senang mengingat hal-hal kecil yang biasanya tidak diingat oleh orang lain. Namun, sering melupakan hal-hal besar yang biasanya diingat oleh orang lain. Namun, itu hanyalah aku yang memilih untuk dapat mengingat hal-hal itu. Lala Bohang menulis, “We choose what we love, we choose our own sufferings, we choose our own beliefs.” Maka, aku sendirilah yang menyebabkan bimbang tetap menghinggapiku tanpa pernah dapat mengeluarkan kata-kata yang berputar di kepalaku dengan lantang.

\
Aku hanya bimbang, atau takut, jika nantinya hidupku hanya akan dipenuhi desakan pernyataan yang diawali dengan kata “seharusnya”. Lagipula, kehidupan ini tidak akan pernah berhenti berjalan. Hari ini tahun 2016, tahun depan akan menjadi 2017. Itu pasti, namun tidak ada yang dapat menjawab kebimbangan itu, melainkan menjalaninya. Pernahkah kamu merasa terlalu lelah untuk menanggapi berbagai pertanyaan yang terlintas di pikiran? Aku baru sadar, jika saja aku menulis mengenai kebimbanganku, tulisan yang kuhasilkan hanyalah barisan-barisan pertanyaan dengan berbagai pengembangan pertanyaan lainnya. Tapi tak apalah, setidaknya pertanyaan-pertanyaan itu telah keluar, tidak hanya berkubang dalam pikiranku saja.

\
Selalu saja keheningan menjadi satu hal kesukaanku. Seperti kata Lala Bohang di atas, aku memilih untuk menyukai keheningan. Hanya keheningan yang dapat menyalurkan berbagai perasaan yang kurasakan. Tidakkah kamu merasa bahwa keheningan merupakan satu-satunya keadaan yang selalu hadir dalam diri tiap-tiap orang, bahkan tiap makhluk hidup di muka bumi ini.

Tidak ada yang mampu melawan kesaktian keheningan. Dalam keheningan, Hanuman mendapatkan kesaktiannya. Begitu pula Sri Kresna, dan Dewa-Dewa lainnya. Maka tidak ada jugalah yang tahu apa-apa saja yang telah dilihat oleh keheningan.

Keheningan telah melihat bagaimana sebuah perasaan berdiam diri tanpa pernah diberi kesempatan untuk bersuara. Selamanya perasaan itu hanya menggantung di udara tanpa pernah berwujud kata-kata. Dan keheningan juga tahu bagaimana perasaan itu sudah tak tahan lagi terpendam, tetapi tak ada daya yang cukup kuat untuk berlari keluar. Hanya keheningan yang dapat mendengar perasaan itu tanpa perlu sedikitpun suara. Keheningan juga telah melihat mimpi yang dipelihara dengan baik hingga menjemput wujud yang sebenarnya. Dan, jangan kau tanya seberapa banyak kecewa yang telah dilihat oleh keheningan.

/
Ah, bicara mengenai kecewa, aku sudah berteman lekat dengannya sejak dulu sekali. Entah bagaimana awal pertemuan kami. Sekarang aku hanya tahu bahwa kecewa lekat merekat padaku. Memayungi hampir seluruh hari-hariku.

Kecewa datang kapan saja tanpa pernah kuduga. Pernah suatu masa, saat siang sedang cerah-cerahnya, ternyata kecewa menghampiri. Lalu aku terdiam, diselimuti keheningan juga suara-suara tertahan yang hanya dapat dilihat oleh dada yang memar. Aku tidak melakukan apa-apa selain menyelami keheningan yang terlalu hening. Seperti yang sudah kubilang tadi, keheningan dapat menyalurkan berbagai perasaan yang kurasakan, maka aku hanya membuat hening menjadi tempat paling hening di sudut pikiranku yang juga hening.

Pernah pula kecewa datang begitu saja melalui serangan kata-kata yang merupakan asal kekuatanku juga. Oh, kata-kata itu begitu meresap bahkan sampai menembus ujung nadiku. Kata-kata yang selama ini menjadi kekuatanku untuk menyalurkan kegelisahan, kini balik menyerang dengan memberikan kecewa.

Tidak seharusnya menyalahkan kecewa, karena ia hanya datang jika dipanggil oleh yang punya rasa. Tidak seharusnya menyalahkan kesedihan, karena ia juga hanya datang jika dipanggil oleh yang merasa. Tidak ada yang seharusnya disalahkan, karena semua perasaan ini dapat tidak dipilih untuk dirasakan oleh yang memiliki rasa. Lantas, akupun tidak melawan atau menyalahkan. Biarkan ia menjalani apa yang seharusnya. Tak ada kepura-puraan yang dibuat-buat.


/
Suara-suara kehidupan selalu saja berbisik di sela kegiatan kita, tetapi kita hampir selalu lupa untuk mendengarkan karena terlalu sibuk menghalau apa-apa yang tidak ingin kita dengar.


Comments

Popular Posts