Tidak Ada Judul untuk Tulisan Ini



Aku disuruh bicara mengenai hal yang tidak kuketahui. Aku berada di ruangan yang hanya berisi meja dan dua kursi. Terdapat lampu gantung yang terangnya tidak seberapa. Bagaimana mungkin aku dapat mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui? Tapi mereka tetap saja memaksaku.

Aku sudah bilang tidak tahu, mereka tetap saja bertanya. Saat aku bilang aku tidak tahu, mereka mulai meneriakiku. Aku cukup terkejut hingga aku menutup mataku. Saat itu aku teringat, nenekku sedang sakit.

Kasihan nenekku. Terakhir aku meninggalkan rumah, ia sedang batuk parah. Memang, umurnya sudah cukup tua, tapi biasanya nenekku jarang sakit. Mungkin ini tanda-tanda. Ya, tanda-tanda, kalau umur tidak dapat bohong. Oleh sebab itu, aku kadang suka sebal terhadapnya. Iya, sebal. Tahu kenapa? Sudah tahu ketahanan tubuhnya tidak lagi sebaik dulu, tapi masih saja suka merengek minta diajak pergi liburan. Bahkan, minta diajak naik gunung. “Yah, kau kan hobi naik gunung, ajaklah sekali-kali nenekmu ini.”

Ah, pipiku sakit juga habis dipukul olehnya. Tapi, aku bisa bilang apa? Aku memang tidak tahu apa-apa. Teriakpun tidak berguna, tidak akan mengurangi rasa sakit ini. Aku melirik sedikit di antara sisa-sisa penglihatanku. Aku lihat ia terengah karena menahan marah dan karena kelelahan sehabis memukuliku.

Ah, nenekku sudah sembuh belum, ya? Semoga saja sudah. Walaupun aku suka mengeluh dia cerewet dan tidak masuk akal, terkadang justru inspirasi datang dari nenekku. Inspirasi terhadap apa saja.

Nenekku itu kerjaan sehari-harinya ya, seperti kebanyakan orang yang sudah tua saja; makan, tidur, dan mandi. Kebanyakan waktunya diisi dengan tidur. Sedikit-sedikit pegal, sedikit-sedikit mengantuk, sedikit-sedikit mengeluh tentang kebisingan. Ah, cerewet sekali, bukan? Kadang aku berprasangka, akankah aku saat tua nanti menjadi seperti nenekku ini? Tapi aku tidak mau menjadi seperti nenekku yang supercerewet dan superribet.

“Sudah kubilang, aku tidak tahu!”

“Bahkan kau tidak lagi mau menganggap ibumu?! Dasar anak kurang ajar!”




Sepertinya itu kalimat terakhir yang aku dengar, tidak lagi ingat kejadian apa yang menimpaku setelah itu, karena manusia sering mengerjakan lebih dari satu pekerjaan dalam satu waktu, dan kadang hal tersebut membuat mereka terluka, tetapi mereka tidak mau mengakui karena takut dibilang payah, karena termakan gengsi yang angkuh, bahkan berlagak seperti bunga baru mekar padahal seperti nanah tak terurus, oleh karena itu mereka melakukan pelarian dengan melakukan hal-hal yang mereka anggap hiburan padahal itu hanya samaran.

Comments

  1. Jadi penasaran, kan, sebenarnya si tokoh dipaksa berbicara apa. :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts