Kebisingan yang Menenggelamkan



Di sini, memandang punggung orang-orang yang bergetar karena dideru haru merupakan kegiatan yang tidak asing lagi.


"Melihat bagaimana ekspresi orang-orang ditinggalkan atau meninggalkan kekasih, keluarga, atau siapapun, juga kegiatan yang tidak asing lagi. Mereka saling bersentuhan, tidak hanya bersentuhan kulit dengan kulit, tetapi juga bersentuhan melalui mata. Kadang, bersentuhan melalui mata itu yang lebih terasa magis, daripada bersentuhan lewat kulit."


Ah, cukup sudah cerita menye-menye ini. Bosan aku mendengar kamu selalu berbicara betapa romantisnya sepasang kekasih yang sedang melepas kepergian kekasihnya. Betapa romantisnya, ibu dan anak mengucap salam perpisahan. Betapa... Akh! Sudah, banyak lagi betapa yang sudah kamu katakan. Pedih kupingku setiap kali mendengar kamu mengawali kalimatmu dengan kata “betapa”. Betapa menyedihkan, kamu hanya bisa melihat perpisahan yang tidak akan dipertemukan kembali.


"Selalu terlihat punggung yang sudah sedikit bungkuk, mungkin karena terlalu keras bekerja, bergetar mengisyaratkan kelelahan yang menyedihkan. Getarannya semakin kencang, diikuti tetes air mata yang tidak bersuara. Tubuhnya yang juga sudah ringkih, duduk di kursi dekat jendela. Memandang kebisingan yang menenggelamkannya. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya kata-kata keluar dari matanya."


Sudahlah, sudah! Aku bilang, sudah. Tidak henti-hentinya kamu berbicara menye-menye seperti itu. Aku tak tahan mendengar kata-katamu yang mengiris. Aku tidak setuju kalau kamu bilang kebisingan ini menenggelamkan. Kamunya saja yang menenggelamkan diri dalam kebisingan itu. Tidak tahukah kamu, bahwa bising itu tidak lagi menghampiri? Aku merasa bising, karena kebisingan tidak lagi menghampiri.

Pikiran itu belakangan sering datang. Aku hanya takut menjadi gila. Semoga aku tidak menjadi gila.


Lara menutup buku kumpulan cerita pendek yang dari tadi ia baca. Mukanya memperlihatkan seolah cerita itu sangat mirip dengan dirinya.


Comments

Post a Comment

Popular Posts