Ia yang Selalu Ada dalam Ruang Apapun yang Tanpa Sadar Menyentuh Lubang Lukanya Sendiri




Ia mungkin berpikir, "sudahlah, yang penting kutahu dia sudah ada di rumah, tanpa kurang sedikit apapun."

Tidak mungkin ia hanya menjadi dataran tinggi yang terlalu tinggi tanpa pernah menyentuh hujan. Tentu ia menyentuh langit juga walaupun sentuhannya tidak terasa langsung. Tentu ia menyentuh hujan juga walaupun sentuhannya hanya barang sedetik waktu. 

Sekali waktu ia berbicara pada langit, namun langit sedang berbicara dengan awan. Maka ia pun hanya berdiam tanpa menyela satu huruf pun pembicaraan mereka. Ia hadir dan ada.

Sekali waktu ia nampaknya ingin sekali bercerita, maka ia berceritalah mengenai kehidupan yang dialami selama ini. Ceritanya menggebu membuat yang lain tak berniat menyela satu napaspun. Namun, hujan menyela. "Aku harus turun sekarang, karena terlalu penuh sudah kumenampung air-air ini," katanya. Maka ia pun berhenti bercerita dan kembali berdiam. 

Ia mungkin berpikir, "tak apalah, mungkin ia juga ingin bercerita sepertiku."

Suatu hari ia berjalan melewati rumput yang sedang menyiangi diri. Rumput menoleh, lalu membiarkan angin membawanya lalu. Ia berjalan pula tanpa ingin tahu bagaimana rumput melambai pada angin dan bagaimana rumput terpercik embun yang telah jatuh. Ia hanya berjalan lurus, memastikan semua berjalan dengan benar. Segala-gala ia dekap seorang.

Kembali ia ingin bercerita. Namun, suaranya tidak cukup berani untuk keluar. Ia mendekap waktu tanpa tahu harus melakukan apa. Maka ia berjalan ke kamar sebelah. Melihat angin, hujan, rumput, dan awan dari jendela cokelat yang telah terbiasa hadir, namun tak juga mengeluarkan suaranya.

"Jangan kau termenung," tiba-tiba terdengar suara.

"Kehadiran memang tidak terlihat. Namun, tatapan dapat melihat siapa yang hadir dan tidak."




Intro for video from "Saat Teduh" by Monita Tahalea

Comments

Popular Posts