Ini Luka, Bukan Cinta
Mataku memandangnya. Dengan bola mata hampir membesar, aku tetap memandangnya. Mungkin bola mataku sudah hampir mau keluar. Tapi, dia belum sadar juga. Mengapa mataku ini tidak bisa berpaling darinya?
Tiba-tiba, kepalanya memutar menghadapku. Membuat aku terkejut, aku langsung palingkan muka. Ah, mengapa aku palingkan muka? Padahal dari tadi itu yang aku inginkan; ia melihat juga ke arahku.
Rambutku sedikit bergoyang karena aku menggelengkan kepalaku. Tidak mungkin. Tidak mungkin ia ingin menatapku. Memangnya siapa aku di mata dia? Sudah berkali-kali aku mengirimkan sajak yang paling indah yang pernah aku buat, tapi selalu saja ditolaknya. Mengapa? Mengapa?
Aku sudah berusaha sampai terkadang mengeluarkan peluh yang sebesar kuaci. Aku sudah menuliskannya dengan tulisanku sendiri yang aku buat indah-indah. Aku sudah memilih kata yang paling indah yang ada di kamus. Tapi tetap saja dia menolakku.
Memangnya aku ini apa? Lalat yang bisa seenaknya ditolak jika ingin hinggap di makanannya?
Aku kan bukan lalat.
Tapi, sudah tahu seperti itu, mengapa aku masih saja menginginkannya? Mengingingkan sesuatu yang pasti. Pasti, karena dia pasti tidak mau denganku.
Sebenarnya ini bukan perkara cinta, tapi perkara hati. Hati yang sedikit tergores dan enggan untuk memudar bekas goresannya.
Ini perkara bagaimana hati merasa dihargai dan merasa dianggap, tapi tergoyahkan karena setitik omongan yang tanpa sadar telah menggoresnya.
Ini bukan cinta, tapi luka.
Catatan,
Terkadang ucapan seseorang bisa sangat membekas di benak, tanpa sadar atau tidak sadar. Dan tanpa sadar atau tidak sadar pula, mereka yang mengucapkan ucapan tersebut bisa menggores hati yang menjadi lawan bicaranya. Jadi, mulutmu harimaumu.
Tiba-tiba, kepalanya memutar menghadapku. Membuat aku terkejut, aku langsung palingkan muka. Ah, mengapa aku palingkan muka? Padahal dari tadi itu yang aku inginkan; ia melihat juga ke arahku.
Rambutku sedikit bergoyang karena aku menggelengkan kepalaku. Tidak mungkin. Tidak mungkin ia ingin menatapku. Memangnya siapa aku di mata dia? Sudah berkali-kali aku mengirimkan sajak yang paling indah yang pernah aku buat, tapi selalu saja ditolaknya. Mengapa? Mengapa?
Aku sudah berusaha sampai terkadang mengeluarkan peluh yang sebesar kuaci. Aku sudah menuliskannya dengan tulisanku sendiri yang aku buat indah-indah. Aku sudah memilih kata yang paling indah yang ada di kamus. Tapi tetap saja dia menolakku.
Memangnya aku ini apa? Lalat yang bisa seenaknya ditolak jika ingin hinggap di makanannya?
Aku kan bukan lalat.
Tapi, sudah tahu seperti itu, mengapa aku masih saja menginginkannya? Mengingingkan sesuatu yang pasti. Pasti, karena dia pasti tidak mau denganku.
Sebenarnya ini bukan perkara cinta, tapi perkara hati. Hati yang sedikit tergores dan enggan untuk memudar bekas goresannya.
Ini perkara bagaimana hati merasa dihargai dan merasa dianggap, tapi tergoyahkan karena setitik omongan yang tanpa sadar telah menggoresnya.
Ini bukan cinta, tapi luka.
Catatan,
Terkadang ucapan seseorang bisa sangat membekas di benak, tanpa sadar atau tidak sadar. Dan tanpa sadar atau tidak sadar pula, mereka yang mengucapkan ucapan tersebut bisa menggores hati yang menjadi lawan bicaranya. Jadi, mulutmu harimaumu.
Comments
Post a Comment